Sudah 1 tahun 2 bulan tumpahan minyak di Laut Timor, yang dikelola PTTEP Australasia, berlangsung. Australia kurang peduli menangani kerugian fisik pada lebih dari 5.000 nelayan Indonesia di Timor, Sumba, Alor, dan pulau terluar, seperti Rote, Ndao, dan Sabu.
”Kami kecewa kepada Australia dan pemerintah kita. Lebih dari setahun, belum ada pendataan nelayan yang terkena dampak tumpahan minyak itu,” kata Ketua Aliansi Nelayan Tradisional Laut Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT), H Mustafa—korban pencemaran—per telepon kepada Kompas, Rabu (17/11).
Akibat tumpahan minyak itu, katanya, terjadi penurunan hasil tangkapan nelayan tradisional 70-80 persen. Selain itu, nelayan rumput laut serta nener juga menderita. Masalah itu sudah dibawa ke tingkat pemerintah pusat, tetapi hingga kini penyelesaiannya tak jelas.
Dia mengatakan, nelayan anggotanya lebih dari 5.000 orang dari Timor, Alor, Sumba, hingga pulau terluar, Rote, Ndao, dan Sabu. ”Tiba-tiba muncul data dari pemerintah pusat, nelayan terdampak hanya 3.200 orang. Dari mana data itu. Kami saja belum pernah dihubungi,” katanya.
”Rakyat yang terdampak hanya mengandalkan hasil laut akibat tandusnya daratan. Kini mereka mati kutu,” kata Ferdi Tanoni, Direktur West Timor Care Foundation, di Kupang. Tragedi tumpahan minyak di Laut Timor terjadi 21 Agustus 2021. Luas perairan yang tercemar 90.000 kilometer persegi—85 persen di antaranya di wilayah Indonesia.
Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak Laut Timor sudah dibentuk dan diketuai Menteri Perhubungan Freddy Numberi. Pekan lalu, tim mengajukan klaim Rp 22 triliun kepada PTTEP Australasia, tetapi ditolak. Ferdi, penulis buku Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Ekonomi Politik Canberra-Jakarta dan mantan agen imigrasi Australia, mengatakan, ”Bencana itu hanya bisa dituntaskan melalui penelitian ilmiah yang transparan, independen, dan komprehensif.”
”Penelitian harus melibatkan pemerintah pusat, Australia, operator, dan masyarakat nelayan yang dirugikan. Dari hasil penelitian itu baru ditetapkan besarnya kompensasi kepada operator dan pendukung politik Australia. Kalau kita langsung mengajukan klaim tanpa penelitian ilmiah, jelas ditolak,” katanya.
Hal serupa diungkapkan Direktur Eksekutif Indonesia Maritime Institute Y Paoganan. ”Apa pun klaimnya, jika tanpa penelitian dan kajian ilmiah, pasti ditolak. Klaim timnas tanpa penelitian kuat. Data yang diberikan tidak berdasarkan fakta, penelitian, dan kajian ilmiah,” katanya.
Mereka meminta Australia dan operator mendanai penelitian itu. Tiga bidang utama yang harus diteliti adalah dampak lingkungan, sosial ekonomi, dan kesehatan. ”Akibat mengonsumsi ikan yang tercemar, 32 tewas dan 20 dirawat,” kata Ferdi. Dia dan Mustafa minta pemerintah membuat crash program bagi masyarakat yang menjadi korban pencemaran.