Wahyu Pubowasito Ph. D, peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Indonesia mengatakan penelitian bioteknologi di Indonesia belum ketinggalan jauh dengan negara-negara lain. Saat ini, BPPT sedang mengembangkan sistem yang dapat meningkatkan kualitas pangan Indonesia. Salah satu pengembangan itu adalah makanan transgenik.
Ada enam keuntungan yang bisa didapat oleh industri agrikultur bila mengembangkan makanan transgenik, yaitu produk agrikultur akan tahan gulma, tahan pestisida, tidak cepat busuk, tahan air (berguna bila hujan terus-menerus turun dan mengakibatkan lahan tergenang air), serta bunga tidak mudah layu.
“Yang saat ini sedang kami kembangkan adalah kemungkinan bio farming, yaitu memasukkan sistem antibodi ke dalam tumbuhan tertentu, seperti pisang, sehingga orang-orang yang membutuhkan antibodi bisa mendapatkannya hanya dengan memakan pisang tersebut,” kata Wahyu yang juga merupakan peneliti fenomena genome imprinting dari National Institute of Genetics, Jepang.
Selain itu, bioteknologi dengan menggunakan genom juga bisa diterapkan dalam bidang kepolisian. Dengan meneliti genom seseorang, polisi bisa mengidentifikasi identitas orang tersebut. Meskipun 99,9 persen urutan sistem genom dalam tubuh manusia sama, ada sedikit perubahan gugus DNA karena terjadinya metilasi DNA atau penambahan gugus metil (CH3) ke dalam struktur DNA itu sendiri.
Pengembangan bioteknologi di Indonesia ini tentu tidak akan berjalan mulus-mulus saja. Ke depannya, banyak tantangan dan hambatan yang datang dari dalam dan luar negeri. Dari luar negeri, Indonesia harus bersaing dengan negara lain yang bioteknologinya sudah maju, seperti Amerika Serikat.
“Pengembangan bioteknologi itu tidak murah, tapi negara lain bisa mengimpor buah-buahan mereka dengan harga yang lebih murah dan berkualitas dibanding buah lokal. Berdasarkan hal itu, kita harus bertanya kepada diri sendiri, ini mengapa?” kata Wahyu menekankan.
Dari dalam negeri, Wahyu mengatakan, curah hujan yang tinggi dan semakin tidak menentu mengakibatkan tanaman pangan yang diadopsi dari negara lain tidak bisa berkembang baik di Indonesia. Ia mencontohkan kedelai Indonesia yang kurang baik mutunya karena ketika ditanam pada musim hujan, tapi tidak bisa kering karena ketika seharusnya dipanen juga masih musim hujan.
Selain curah hujan, minat peneliti di Indonesia terhadap bioteknologi pangan masih rendah, padahal negeri ini kaya akan tumbuhan yang berkualitas. Ironisnya, negara tetangga, Malaysia, justru lebih dahulu melirik prospek penelitian terhadap tanaman kelapa sawit bermutu yang tumbuh di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat.
“Saat ini, BPPT sedang bekerja sama dengan negara lain dalam hal memperbaiki mutu karet alam agar (setelah diolah menjadi ban) bisa lebih awet dan lebih kenyal,” kata Wahyu tanpa menyebutkan negara mana yang menjadi mitra BPPT tersebut.