Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi siap mendukung penyelenggaraan Pemilu Legislatif ataupun Pemilu Presiden 2014 secara elektronik. Untuk menuju kesiapan penyelenggaraan itu, dukungan penyediaan sistem dan teknologi pemilu elektronik oleh BPPT itu akan diuji coba penggunaannya dalam sejumlah pemilu kepala daerah.
Kesiapan itu disampaikan Kepala BPPT Marzan Aziz Iskandar, didampingi sejumlah peneliti BPPT lainnya, di Jakarta, Jumat (14/5). Selain Kabupaten Jembrana, Bali, yang sejak awal mengusulkan penggunaan pemilihan elektronik (e-voting), daerah lain yang juga mengusulkan penggunaannya, antara lain, Kota Bogor dan Kota Depok.
Agar pemilihan elektronik dapat dilaksanakan, dibutuhkan data kependudukan yang pasti. Menurut Marzan, Kementerian Dalam Negeri telah menyatakan kesiapan penggunaan kartu tanda penduduk (KTP) elektronik bagi seluruh rakyat Indonesia pada akhir 2023.
Marzan menambahkan, pemilu elektronik harus menjamin penghematan biaya, kecepatan diperolehnya hasil pemilu, kemudahan bagi pemilih dalam memberikan suaranya, serta terjaganya asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Model pemilihan elektronik yang digunakan di Indonesia juga harus disesuaikan dengan sistem pemilu Indonesia yang berbeda dengan negara-negara lain.
Tiga model
Kepala Bidang Sistem Informasi dan Komputasi BPPT Dwi Handoko mengatakan, saat ini setidaknya sudah ada tiga pilihan jenis peralatan yang digunakan dalam pemilihan elektronik, yaitu sistem layar sentuh yang digunakan dalam pemilihan kepala dusun di Jembrana, sistem mesin dengan tombol seperti di India, atau penghitungannya saja yang dilakukan secara elektronik seperti di Filipina.
Untuk sistem yang digunakan di Filipina, pemilih memberikan suara dengan memberikan bulatan hitam seperti dalam ujian nasional di sekolah. Data di kertas itu selanjutnya dibaca dengan mesin pemindai optical mark reader (OMR). Penghitungan semacam ini juga mempercepat diketahuinya hasil pemilu.
Sistem layar sentuh atau mesin tombol hanya dapat digunakan untuk pemilu kepala daerah, pemilu presiden, atau pemilu dengan sistem distrik, seperti di India, yang dalam satu daerah pemilihan maksimal hanya ada belasan calon yang harus dipilih. Untuk digunakan dalam pemilu legislatif Indonesia, baik pemilu DPR, DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota, dengan sistem proporsional terbuka, yang diikuti 38-44 partai politik dan setiap partai bisa memiliki puluhan calon anggota legislatif, tentu sangat sulit.
Lebih murah
Peneliti Jaringan Komputer, Divisi Sistem Komunikasi Multimedia, Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi BPPT, Husni Fahmi, mengatakan, pengalaman India menyelenggarakan pemilu elektronik hanya membutuhkan biaya 0,75 dollar Amerika Serikat untuk setiap pemilih.
Bandingkan dengan biaya pemilu Indonesia 2021 yang menurut Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran mencapai 13,64 dollar AS per pemilih. Dengan kurs Rp 9.000 per dollar AS, biaya pemilu untuk setiap pemilih di India hanya Rp 6.750 dan di Indonesia mencapai Rp 122.760.
Secara terpisah, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan, standardisasi kesiapan suatu daerah yang akan melakukan pilkada dengan e-voting harus diatur. Gamawan menyebutkan beberapa hal terkait dengan pelaksanaan pemungutan suara e-voting, seperti kesiapan tenaga listrik dan data penduduk dengan e-KTP.