Skip to content

Cerita Dari Konservasi Pulau Tinjil Untuk Monyet Ekor Panjang

Jika ada monyet yang menghampirimu, jangan tunjukkan bahwa kamu takut. Jika kamu terlihat takut, apalagi berlari, monyet akan menganggap kamu sebagai monyet dari kelompok yang lebih lemah darinya. Monyet itu akan mengejarmu! Kamu harus membentak monyet itu, menegaskan bahwa kamu tidak takut kepadanya,” tutur Randall C Kyes di Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Banten, Rabu (21/7) sore itu.

Kyes melihat senyuman penuh percaya diri mengembang di antara 16 peserta Primate Conservation Biology (PCB) yang diselenggarakan Studi Satwa Primata Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB) itu. Kyes langsung memberikan peringatan soal bahayanya sekitar 2.000 monyet yang ditangkarkan di pulau seluas 6 hektar itu.

”Jangan coba-coba menggoda, apalagi menyentuh bayi monyet ekor panjang. Itu berbahaya! Bayi monyet ekor panjang pasti lucu buat kalian, tetapi dia berbahaya. Sedikit saja monyet kecil itu menjerit, jeritan itu menjadi alarm bahaya bagi semua anggota kelompok. Dan, sekawanan monyet akan segera menyerangmu!”

Peringatan profesor primata dari University of Washington, Amerika Serikat, itu disambut senyum kecut sebagian peserta pelatihan. Sebagian lainnya tertawa kecil. Bisik-bisik segera terdengar di ruangan salah satu pondok Laboratorium Lapang Pulau Tinjil. Rabu sore itu adalah hari pertama pelatihan di Pulau Tinjil, tetapi serunya tiga pekan ”petualangan” di Pulau Tinjil kian terbayang.

Kyes melanjutkan kuliahnya dengan membagikan peta jalur pengamatan Pulau Tinjil. Pulau di selatan Pulau Jawa itu telah menjadi lokasi pengembangbiakan alami monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sejak 1988. Kendati setiap tahun ratusan monyet ditangkap untuk dijadikan berbagai model riset, populasi monyet selalu dipantau untuk menghindari penangkapan berlebihan.

Setiap tahun

Pelatihan PCB telah berlangsung setiap tahun sejak 1991. ”Saya kala itu masih mahasiswa S-1 IPB, zaman ahli primata Indonesia begitu sedikit jumlahnya,” tutur Entang Iskandar, peserta pelatihan PCB angkatan pertama yang lantas menjadi saksi sejarah perkembangan Pulau Tinjil hingga kini.

Pada 1991, Kyes mengawali pelatihan itu, dan setiap tahun ia selalu kembali ke Indonesia untuk kembali membagi ilmunya kepada peserta PCB. ”Tinjil sebagai pulau penangkaran monyet ekor panjang menawarkan kelebihan dalam PCB. Pulau itu kecil, terpisah dari permukiman, tetapi memiliki daya dukung yang dibutuhkan untuk mengembangbiakkan monyet ekor panjang. Karena kecil, Tinjil menjadi pulau yang bagus untuk dijadikan lokasi pelatihan primata,” kata Kyes.

Di Tinjil, seorang peserta pelatihan yang tersesat pasti menemukan jalan pulang dan mencapai basecamp dengan berjalan kaki kurang dari 10 kilometer. ”Di sini tidak ada harimau, tidak ada hewan buas. Tinjil kini telah memiliki jalur pengamatan yang tertata, memudahkan siapa pun belajar dan menerapkan pengetahuannya tentang pengamatan primata,” kata Kyes.

Seperti sejumlah PCB sebelumnya, PCB angkatan 20 pun diminati para peneliti atau bakal peneliti primata dari mancanegara.

Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Primatologi IPB, Puji Rianti, tengah menyiapkan disertasinya tentang perilaku dan populasi orangutan di Kalimantan. Dan, ia menjadikan PCB ajang pemanasannya. ”Di Tinjil, saya akan meneliti perilaku dan populasi monyet ekor panjang. Tentunya perilaku orangutan dan monyet ekor panjang berbeda. Akan tetapi, cara pengamatan orangutan dan monyet ekor panjang sama. Ini persiapan sebelum saya ke Kalimantan,” kata sang kandidat doktor itu.

Diminati peneliti

Model pelatihan dan pengamatan lapangan ”kepulauan” yang dikembangkan di Tinjil sejak 1991 telah menjadi salah satu model pelatihan dan pengamatan satwa yang diminati banyak mahasiswa dan peneliti muda. ” Metode pelatihan Tinjil telah diterapkan di Nepal, China, Thailand, Banglades, Meksiko, Kongo, India, dan Manado. Namun, di setiap lokasi, jenis satwa yang menjadi obyek pengamatan adalah satwa lokal masing-masing wilayah,” kata Keys.

Entang menuturkan, para jebolan PCB terserak di mana-mana. ”Ada yang menjadi dosen di sejumlah perguruan tinggi, ada yang pegawai Direktorat Jenderal Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam, dan ada yang bekerja di lembaga swadaya masyarakat internasional di bidang konservasi. Tersebar. Latar belakangnya pun kian beragam,” kata Entang.

PCB Tinjil juga kerap diikuti para mahasiswa yang tertarik mempelajari problem konservasi yang berbeda-beda di setiap negara. ”Dari pelatihan di Tinjil, Nepal, China, Thailand, dan banyak tempat lainnya, terbangun jaringan global para peneliti dan pemimpin konservasi dari sejumlah negara. Dari Tinjil terbangun jaringan kerja untuk membicarakan persoalan konservasi yang lebih makro,” kata Keys.

Apa jadinya jika peserta PCB ternyata berbelok karier menjadi salesman atau teller bank? ”Tidak ada masalah. Sepertinya kami hanya mengajarkan cara mengamati monyet ekor panjang. Namun, di Tinjil, monyet ekor panjang adalah pintu untuk membuat orang mencoba memahami ekosistem, lingkungan, dan alam, juga keanekaragaman hayati. Tidak masalah alumni pelatihan akan berprofesi apa, ia telanjur memiliki pengetahuan soal lingkungan. Itu satu langkah kecil untuk dunia yang lebih baik,” kata Keys tertawa.