Melihat burung yang terbang di sekitar kita, sulit membayangkan mereka berasal dari keluarga besar dinosaurus theropod. Tim paleontologi Spanyol menemukan bukti, burung yang kita lihat sekarang ini nenek moyangnya berbentuk dinosaurus yang berpunuk seperti unta atau sapi.
Kesimpulan tentang nenek moyang burung itu merupakan hasil analisis fosil tulang utuh dinosaurus berusia 130 juta tahun yang ditemukan di Las Hoyas, Cuenca, Spanyol. Temuan fosil dinosaurus yang dipublikasikan jurnal Nature ini diberi nama Concavenator corcovatus (pemakan daging berpunuk dari Cuence). Nenek moyang burung ini diperkirakan pernah hidup 100-146 juta tahun lalu.
Situs Discovery News, 8 September lalu, menjelaskan, nenek moyang burung yang bersaudara dekat dengan Carcharodontosaurus (dinosaurus predator lebih besar dari Tyrannosaurus rex atau T rex) ini panjang tubuhnya mencapai 6 meter. Bentuk tubuhnya mirip T rex. Bedanya hanya ada di tonjolan-tonjolan atau punuk pada bagian bawah lengan dan punggung bawah dekat ekor atau di atas tulang pangkal paha.
Punuk pada dinosaurus sebenarnya bukan temuan baru karena dinosaurus Velociraptor juga memiliki tonjolan. Hanya saja biasanya punuk itu ada di bahu atau punggung tengah. Tim paleontologi menduga, seiring dengan waktu dan proses evolusi, di bagian punuk-punuk itu tumbuh sayap hingga menjadi burung seperti yang kita lihat sekarang.
”Ini kelompok dinosaurus yang penting karena di dalamnya ada keluarga burung. Sejatinya, asal muasal burung itu dinosaurus theropod yang bersayap dan bisa terbang,” kata Jose Sanz, peneliti dari Universidad Autonoma de Madrid.
Pakar biologi di Kelompok Biologi di National University for Distance Education Madrid, Francisco Ortega, menilai, punuk menjadi bagian paling menarik karena bisa jadi punuk itulah cikal bakal sayap burung. Namun, sampai saat ini tim peneliti masih berkutat pada dugaan-dugaan fungsi punuk itu.
Harian the New York Times memaparkan, peneliti menduga, punuk itu menjadi tempat menyimpan makanan atau air seperti unta. Jika tidak ada saraf-saraf pada bagian punuk, berarti gugurlah teori itu dan muncul teori lain yang menduga punuk itu hanya aksesori yang digunakan untuk menarik perhatian pasangan atau mengintimidasi lawan.
Teori lain, punuk itu berfungsi sebagai pengendali suhu tubuh atau pengatur keseimbangan tubuh ketika Concavenator berlari kencang. Dilihat dari bentuk punuk di bagian lengan dan punggung bawah, situs National Geographic News menduga, Concavenator kuat dan kencang berlari ketika mengejar dan menyerang dinosaurus berukuran lebih kecil, buaya, dan nenek moyang mamalia yang lain. Mirip dengan T rex, Concavenator juga berlari dengan dua kaki belakang dan memiliki gigi taring yang besar dan tajam.
Namun, menurut Ortega yang memimpin penelitian ini, penjelasan yang paling masuk akal adalah punuk itu berfungsi sebagai daya tarik kawan dan lawan. Pasalnya, dengan berat badan hingga 1 ton, rasanya sulit bagi Concavenator untuk bisa lari kencang. Apalagi karena punuknya pun sebenarnya masih terlalu kecil untuk bisa mengontrol suhu tubuh atau menambah kecepatan lari.
Harian the Washington Post mengajukan teori lain. Punuk itu jangan-jangan berfungsi sebagai media komunikasi sesama Concavenator. Pakar paleontologi di University of Chicago, Paul Sereno, menduga, punuk itu hanya menjadi pembeda Concavenator dengan anggota keluarga dinosaurus lain. Jika hanya menjadi aksesori, Sereno menduga punuk itu berwarna terang sehingga akan mudah terlihat dari jarak yang jauh sekalipun.
Namun, tim peneliti Ortega tetap saja bingung karena punuk Concavenator memiliki struktur tulang internal dan bukan hanya tonjolan daging, berbeda dengan mamalia lain. Struktur tulang Concavenator mirip dengan tulang lengan atau sayap pada ayam atau burung masa kini.
Eropa
Dilihat dari bentuk tubuh Concavenator yang berpunuk, tim peneliti menduga, nenek moyang burung ini tinggal di daerah Spanyol tengah pada era Early Cretaceous East dan hidup berdampingan dengan keluarga dinosaurus lain, kura-kura, buaya, dan mamalia purba yang lain. Selama ini keluarga besar Carcharodontosarus, termasuk Concavenator, diduga hanya tinggal di wilayah selatan karena sebagian besar fosil ditemukan di Amerika Selatan, Afrika, dan Australia.
Namun, penemuan terbaru di Spanyol dan temuan terbaru lain menunjukkan, dinosaurus ternyata juga hidup di Eropa dan wilayah utara. Concavenator dianggap sebagai anggota paling primitif dari keluarga besar Carcharodontosaurids (hewan melata bergigi hiu). Kelompok dinosaurus inilah yang kemudian melahirkan anak, cucu, dan cicit dinosaurus pemangsa di Eropa hingga menyebar ke wilayah di luar Eropa.
”Sekitar 10 atau 12 tahun lalu semua orang mengira Carcharodontosaurus hanya hidup di Amerika Selatan dan Afrika. Ternyata tidak. Kami mulai yakin evolusi awal kelompok ini justru terjadi di Eropa,” kata Ortega.
Direktur Dinosaur Institute di the Natural History Museum Los Angeles County Luis Chiappe menilai, temuan ini membuktikan ternyata keluarga theropod juga memiliki sayap. ”Sayap ternyata tidak hanya muncul di tubuh dinosaurus yang berukuran kecil. Dinosaurus besar, seperti Concavenator, juga ternyata punya sayap meski belum sempurna,” ujarnya.
Tim Ortega membutuhkan waktu tujuh tahun untuk menganalisis fosil Concavenator yang ditemukan pertama kali tahun 2003. Untuk menuntaskan seluruh misteri nenek moyang burung ini, termasuk fungsi punuknya, barangkali tim Ortega perlu waktu lebih lama. Namun, jika tidak sabar menanti dan penasaran dengan bentuk Concavenator, fosil utuhnya bisa dilihat di Museum Ilmu Pengetahuan di Castilla-La Mancha, Spanyol.