Hampir setiap siang, ada sepasang tamu yang mengunjungi halaman rumah Avi Mahaningtyas. Keduanya berenang mencari makanan di Sungai Ciliwung, tepat di belakang kediaman Avi, di kawasan Rawajati Timur, Jakarta Selatan. “Sejak saya tinggal delapan tahun lalu, sepasang berang-berang itu sudah ada di sini,” kata Avi kepada Tempo kemarin.
Selain berang-berang atau lutra-lutra, ada lima ekor kera yang menghuni halaman belakang rumah Avi seluas 115 meter itu. Begitu juga puluhan jenis burung. Namun, kera itu kini tidak tersisa lagi. Beruntung Avi masih bisa mendengar suara kicau burung dan menyaksikan berang-berang jumpalitan di sungai di belakang rumahnya.
Berang-berang yang berada di Rawajati Timur memang sisa dari mamalia karnivora yang masuk famili Mustelidae. “Ada sepasang lagi di Sungai Ciliwung, di wilayah Depok,” kata Ady Kristanto, peneliti dari Fauna & Flora International (FFI). Ady juga mendengar ada sepasang berang-berang yang hidup di Sungai Pesanggrahan di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Dua hari lalu, FFI dan Jakarta Green Monster meluncurkan hasil survei tentang keanekaragaman hayati di Ibu Kota. Satwa dan flora yang masih hidup mereka sajikan dalam sebuah buku bertajuk Alam Jakarta: Panduan Keanekaragaman Hayati yang Tersisa di Jakarta. Foto-foto cantik hewan tersebut melengkapi buku yang dapat menjadi pegangan para guru.
Survei itu sendiri dilakukan sejak 2006. “Ternyata masih ada hotspot keanekaragaman hayati di Jakarta,” kata Jito Suharjito, Direktur FFI untuk Indonesia. Berang-berang, misalnya, yang disangka sudah musnah dari perairan Ibu Kota ternyata masih ada.
Minimnya populasi hewan berbulu tebal dan halus membuat berang-berang sebagai hewan langka di Jakarta. Jika tidak ada upaya perlindungan, mereka terancam punah. Hewan lain yang terancam punah secara global adalah burung bubut Jawa, jalak putih, dan bangau bluwok.
Bubut Jawa (Centropus nigrorufus) dalam bahasa Inggris disebut Sunda coucal atau Java coucal. Burung ini berwarna hitam mengkilap ungu dengan sayap berwarna merah karat. Burung yang diketahui hanya hidup di Pulau Jawa (endemis) ini hidup dari mengkonsumsi serangga, katak, ular, dan tikus. Burung pemalu ini berbiak pada Januari-Maret dengan jumlah setiap sarangnya sekitar 3-5 butir.
Bubut Jawa merupakan salah satu spesies burung yang masuk kategori terancam punah secara global dengan status rentan (vulnerable). Status ini memiliki arti bahwa spesies itu memiliki peluang untuk punah lebih dari 10 persen dalam waktu 100 tahun, jika tidak ada upaya untuk perlindungan.
Populasi bubut Jawa di Indonesia, kata Ady, diperkirakan cuma 500 individu. Dari jumlah ini, ada empat individu hidup di Suaka Margasatwa Muara Angke, Jakarta Utara. Di suaka ini juga tinggal empat ekor jalak putih. Di Jawa, populasi jalak putih cuma 200 ekor. Sementara itu, bangau bluwok menempati Pulau Rambut di utara Jakarta dengan populasi sekitar 800 ekor.
Ancaman utama terhadap spesies burung-burung ini adalah perusakan habitat, yaitu hutan mangrove dan rawa di daerah pesisir. Sayangnya, hutan bakau di pesisir Jakarta terancam hilang. Kini yang tersisa cuma di Muara Suaka Margasatwa Angke dan Kamal Muara, Jakarta Utara. “Luasnya sekitar 200 hektare,” kata Ady.
Biang keladi merosotnya keanekaragaman hayati di Jakarta adalah pembangunan yang tidak memperhatikan lingkungan. Banyak ruang terbuka hijau yang dianeksasi untuk permukiman, perkantoran, dan fasilitas umum lainnya. Ruang ini dapat berfungsi sebagai hutan kota, taman kota, dan pertanian kota.
Padahal, pada zaman Belanda, aneka satwa dan flora menghiasi kota ini. Ketika itu harimau dan badak masih terlihat berkeliaran di luar benteng Belanda. Nama-nama wilayah di Jakarta berasal dari nama pepohonan. Misalnya Cempaka Putih, Kayu Putih, Kemang, Kosambi, Menteng, juga Kebayoran, yang berasal dari “bayur”. Semua itu menunjukkan pola penggunaan lahan pada masa lalu tempat daerah-daerah tertentu dikenal dari hasil perkebunannya.
Dalam soal burung, misalnya. Pada 1946, di Jakarta masih ditemukan 256 jenis burung. Pada 2006-2007, Jakarta Green Monster dan FFI melakukan survei. “Kami hanya temukan 121 jenis burung, termasuk burung pantai,” kata Jito.
Kini Pemerintah Provinsi Jakarta gembar-gembor memperbanyak ruang terbuka hijau. Sayangnya, ruang terbuka hijau yang disediakan umumnya tak efektif karena tidak memperhatikan struktur ideal. Penciutan luas lahan hijau dan letaknya yang terserak berjauhan menurunkan kualitas ekosistem di tiap-tiap petak ruang terbuka hijau.
Kecuali Sungai Ciliwung dan Pesanggrahan tidak ada lagi koridor dingin dari luar kota ke pusat perkotaan. Kecilnya area tidak mendukung sebagian biota untuk hidup di dalamnya. Letaknya yang berjauhan tanpa adanya jalur penghubung menyebabkan biota-biota di dalamnya hidup terisolasi. Akibatnya, jumlah jenis hewan yang hidup di dalamnya pun menyusut.
Pembangunan yang tidak terencana dan konsisten, kata Nining Saptohadi, membuat Kota Jakarta sakit. “Kota tidak hanya untuk manusia, tapi juga tempat tinggal satwa dan flora,” kata dosen di Universitas Indonesia dan Universitas Trisakti itu. Berang-berang, bubut Jawa, jalak putih, dan bangau bluwok kini butuh ruang hidup di antara hutan beton Jakarta