Skip to content

Hindarkan Ancaman Kemanusiaan Cegah Perubahan Iklim

Presiden Bolivia Evo Morales mendesak agar jumlah dana yang digunakan untuk melindungi masyarakat adat atau penduduk asli serta bantuan untuk mengatasi dampak perubahan iklim di negara berkembang setara dengan besarnya anggaran negara maju untuk kepentingan pertahanan, keamanan, dan keperluan perang. Brigitta isworo

”Jika Protokol Kyoto kita buang ke keranjang sampah, maka kita bertanggung jawab atas terjadinya economy-cide, ecocide, yang pasti juga genocide karena hal itu akan mengancam kemanusiaan,” ujar Morales yang merujuk pada ”bencana (musnahnya) ekonomi”, hancurnya lingkungan, dan pemusnahan etnis. Tajam, tepat sasaran. Morales dengan berani membuka topeng ketidakadilan dalam relasi negara maju-negara berkembang atau miskin.

Sejarah mencatat bahwa tahun ini Rusia yang pengekspor gandum justru harus mengimpor gandum sebanyak 5 juta ton akibat gelombang panas, Juli lalu. Brasil pada Februari lalu diterjang gelombang panas yang menewaskan penduduk, dan secara bersamaan Washington DC, AS, diterjang badai salju terburuk dalam 110 tahun! Semua bencana berskala besar tersebut merupakan muara pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim. Pemanasan global terjadi akibat emisi gas rumah kaca (GRK) dalam jumlah banyak sehingga energi panas matahari terperangkap di atmosfer.

Bencana akibat perubahan iklim itu akan memicu kelaparan serta memicu pertikaian karena perebutan sumber daya dan teritorial, mulai tingkat lokal hingga global, contohnya adalah konflik di Darfur, Sudan barat. Banjir di Pakistan pada Agustus lalu juga menewaskan ribuan orang. Diperkirakan, tahun 2050 ratusan juta orang bakal terusir dari tempat tinggalnya akibat dilanda bencana.

Evo Morales, penduduk asli pertama yang menjadi Presiden Bolivia, sudah muak dengan segala topeng diplomasi yang secara siklik terjadi tanpa pernah sampai pada jalan keluar untuk penyelamatan bumi dari ancaman dampak perubahan iklim.

Konferensi Perubahan Iklim PBB, pertemuan para pihak ke-16 dari Kerangka Kerja PBB untuk Konvensi Perubahan Iklim (COP-16 UNFCCC), telah berlangsung 11 hari sejak 29 November 2022, ketika Morales mengemukakan ”tuntutannya”.

Kebuntuan dalam perundingan perubahan iklim di resort pantai Karibia ini terkait dengan lanjut atau tidaknya Protokol Kyoto, yang periode pertamanya akan berakhir tahun 2023. China dan Amerika Serikat sebagai emiter GRK terbesar pertama dan kedua menolak dikenai kewajiban menurunkan emisi seperti 37 negara maju lain yang tergabung dalam Annex I. Pada tahap pertama Protokol Kyoto, negara-negara Annex I diwajibkan menurunkan emisinya rata-rata 5,2 persen dari level emisi GRK tahun 1990.

Jepang pun menolak. Posisi AS dan Jepang sama: keduanya tidak mau dibebani kewajiban jika China tidak dikenai kewajiban yang sama. China dan India dipandang sebagai negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi pesat.

Pada pertemuan lebih dari 190 negara ini—dua hari terakhir hadir beberapa presiden—tidak juga muncul kesepakatan yang mengikat secara hukum untuk kelanjutan protokol tersebut. Sebagian peserta bahkan cukup puas dengan pembicaraan dalam jalur kelompok kerja ad-hoc bidang Program Kerja Sama Jangka Panjang yang di dalamnya dibahas antara lain tentang skema pengurangan emisi dari deforestasi dan penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage).

Sementara itu, Kanada dan Rusia tetap menolak melanjutkan protokol kecuali negara berkembang juga berkomitmen mengurangi emisinya. Keberatan dari negara berkembang: mereka masih butuh energi untuk pembangunan ekonominya. Negara berkembang seperti Indonesia masuk dalam lima negara dengan emisi terbanyak ketika emisi dari pembukaan lahan gambut turut dihitung.

Yang mengherankan adalah mengapa kondisi kebuntuan terus berlangsung dengan masing-masing pihak bersikeras? China kini mengubah diplomasinya, yaitu menyiarkan apa yang mereka lakukan di dalam negeri. Mereka saat ini mengurangi emisi karbon dengan target 40 persen-45 persen dalam lima tahun.

Indonesia bersama negara-negara berkembang lainnya, termasuk aliansi negara-negara kepulauan kecil (AOSIS), berpeluang melakukan tekanan yang sama terhadap forum agar negara-negara Annex I serius dalam memberikan komitmennya. Sebab, hingga Kamis (9/12) pun masalah pendanaan masih belum jelas, juga masalah alih teknologi dari negara maju ke negara berkembang sebagai bantuan untuk mengatasi dampak perubahan iklim.

Jika ada negara-negara yang mencari ”jalan tengah”, hal itu bisa disalahartikan bahwa negara tersebut ingin mendapatkan manfaat bagi dirinya sendiri. Lagi pula, penanganan pemanasan global secara parsial tidak akan menjawab tantangan global: yaitu musnahnya peradaban manusia dan hancurnya kemanusiaan seperti diutarakan Morales.

Dunia membutuhkan Morales-Morales lain agar dunia bisa berjalan seimbang untuk menjaga peradabannya. Jangan lupa, perubahan iklim pula yang telah memusnahkan peradaban dan manusia suku Maya di Amerika Tengah dan Meksiko.