Para ilmuwan jarang dilibatkan dalam proses perencanaan dan pengambilan kebijakan karena dianggap solusinya tidak praktis dan justru memperbesar biaya produksi. Proses pembangunan yang lebih menitikberatkan pada kepentingan ekonomi jangka pendek membuat faktor-faktor alam yang memengaruhi pembangunan sering kali diabaikan.
Kasus amblesnya Jalan RE Martadinata, Jakarta Utara, Kamis (16/9), merupakan salah satu bukti diabaikannya informasi soal penurunan tanah yang sejak lama dikatakan para ilmuwan. Penurunan muka tanah dipicu penyedotan air tanah.
Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Lukman Hakim seusai pembukaan seminar ”Konsep Pembangunan Baru untuk Keberlanjutan Humanosfer dan Masyarakat di Zona Khatulistiwa Asia Tenggara” di Jakarta, Senin (20/9), mengatakan, kuatnya kepentingan ekonomi untuk meningkatkan keuntungan membuat faktor-faktor alam sering kali diabaikan. Faktor alam umumnya konstan beberapa tahun, tetapi akan terus menyesuaikan diri dengan perubahan.
Deputi Jasa Ilmiah LIPI Jan Sopaheluwakan menambahkan, proses pembangunan selama ini mengabaikan kondisi alam dan hanya menganggap alam sebagai obyek. Padahal, alam tak bisa dikuasai dan hanya menyesuaikan dengan kondisi yang ada.
Selain itu, pembangunan masih mengabaikan faktor bencana, krisis, dan konflik penyebab kenaasan. Padahal, kenaasan tidak terjadi secara tiba-tiba.
”Jika sudah terjadi bencana, baru para ilmuwan dipanggil (dimintai pendapatnya). Ilmuwan masih dianggap sebagai ’tukang cuci piring’,” katanya.
Diabaikannya pendapat ilmuwan dalam pembangunan bukan hanya terjadi di Indonesia. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI Dewi Fortuna Anwar mengatakan, Jepang sebagai negara maju baru menyadari pentingnya pembangunan yang berpegang pada nilai-nilai tradisi, lingkungan, dan agama saat pertumbuhan ekonomi mereka sudah tinggi.
Nilai tradisi mengajarkan pentingnya menjaga keselarasan hidup antara modal alam dan modal sosial. Pembangunan berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi tidak berarti harus selalu berorientasi ke depan, tetapi juga harus berpegang pada nilai tradisi.
Peneliti Pusat Studi Asia Tenggara Universitas Kyoto, Jepang, Kosuke Mizuno, mengatakan, kesadaran untuk melibatkan ilmuwan dalam pengambilan kebijakan politik pembangunan dimulai dari kuatnya tuntutan masyarakat