Hari Sabtu (8/5) pukul 06.00, air Sungai Hitam di Desa Kuala Samboja, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, terlihat coklat bercampur lumpur. Daerah lahan basah itu didominasi tumbuhan rumbia dan semak belukar.
Sepintas tidak ada yang menarik di sungai ini. Kehidupan di sekitar sungai tidak menggambarkan kekayaan alam sesungguhnya Pulau Kalimantan yang amat dikenal dunia. Yang tampak justru lingkungan sungai yang rusak.
Meski demikian, di kalangan pemerhati satwa endemik Kalimantan, termasuk dari mancanegara, nama Sungai Hitam cukup terkenal. Sungai ini cukup istimewa untuk dikunjungi sebelum ke tempat lain di Kaltim.
Di lahan basah ini hidup kawanan primata endemik Kalimantan, bekantan (Nasalis larvatus). Karena itu, Sungai Hitam menjadi tempat tujuan baru yang paling mudah dijangkau dari Balikpapan terkait satwa endemik Kalimantan, selain habitat orangutan dan beruang madu di Hutan Lindung Sungai Wain atau Wanariset Samboja.
Tidak sekadar melihat, mereka yang datang juga meneliti kehidupan satwa yang kerap disebut monyet ”bule” Belanda ini. Kalangan media massa dan fotografer juga kerap datang ke tempat itu.
”Maaf, tenang dulu. Sebentar lagi kita akan tiba di beberapa pohon rambai dan akan melihat kawanan Bekantan yang sedang mencari makan,” kata Mudzakir, warga Kuala Samboja yang menyediakan perahu untuk melihat keunikan kehidupan habitat primata dilindungi tersebut.
Saat perahu berlayar beberapa meter dari pohon rambai, sekitar 15 ekor bekantan sedang mencari makan. Selama menyusuri sungai sejauh 2,5 kilometer, sedikitnya ada empat kelompok bekantan.
Kawanan monyet berwarna coklat keemasan itu benar-benar hidup alami nyaris tanpa perlindungan. Namun, keberadaan satwa ini terancam punah karena minimnya ketersediaan pohon rambai.
Berbeda dengan orangutan yang keterancaman hidupnya karena lebih banyak diburu dan diperdagangkan, ancaman bagi bekantan justru akibat ketidakmampuan beradaptasi.
Beberapa tahun terakhir, populasi satwa yang dikenal sebagai Proboscis monkey ini menurun karena habitat mereka rusak atau dibabat.
Di Kabupaten Kutai Kartanegara, 10 tahun lalu, 20 dari 58 bekantan yang hidup di hutan Pulau Kumala, Tenggarong, seluas 75 hektar terpaksa dipindahkan ke dua cagar alam, di Kecamatan Muara Kaman (tujuh ekor) dan Muara Muntai (13 ekor). Penyebabnya, hutan dibabat untuk pembangunan proyek taman wisata.
Terampasnya habitat bekantan juga terjadi di Delta Mahakam akibat maraknya pembabatan hutan mangrove.
Di Kalsel, populasi bekantan di cagar alam Pulau Kaget yang berada di Sungai Barito juga menurun akibat pembukaan lahan pertanian di pulau seluas 85 hektar serta habisnya pepohonan yang menjadi sumber pakan utama bekantan. Data terakhir dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalsel tahun 2007 ada sekitar 100 ekor bekantan. Padahal, tahun 1997 populasinya mencapai 304 ekor.
Di Sungai Hitam, mengutip laporan pengamatan yang dilakukan dua peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Kementerian Kehutanan di Samboja, Wahyu Catur Nugroho dan Amir Ma’ruf, ada sekitar 120 bekantan yang hidup dalam 10-12 kelompok.
Ancaman besar lain yang perlu dicermati adalah meluasnya pertambangan batu bara di sekitar Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto. Meski tidak berada di dalam kawasan, Sungai Hitam menjadi salah satu lokasi penyebaran bekantan dari Tahura Bukit Soeharto.
Kerusakan dan kehancuran sebagian hutan di Tahura Bukit Soeharto akibat penambangan batu bara semestinya membuka mata semua pihak terkait untuk peduli menyelamatkan bekantan Sungai Hitam. Bukan sebaliknya, membiarkan ”bule-bule” itu perlahan-lahan punah