Ita Sulistyawati, “Lecturer Food Safety and Environment” di sela acara “International Food Conference”, di Kampus Unika Semarang, Jumat, mengatakan kerang yang hidup di muara sungai kawasan Pantura Jateng rata-rata melebihi ambang batas dari kandungan timbal dan cadmium.
“Malah bisa lebih empat sampai lima kali batas ambang yang diperbolehkan. Jadi sebagian besar kerang memang melebihi batas ambang,” kata Ita.
Ia menjelaskan, jika dibandingkan dengan manusia, kerang lebih resisten bisa melindungi dirinya dengan mengakumulasi logam berat. Kerang bisa bertahan hidup meskipun kandungan logam beratnya lebih tinggi dari berat tubuhnya atau dagingnya.
“Cara hidup kerang memakan sendimen tanah dan menyaring air bagian dasar. Kerang mampu menyimpan logam berat dalam jumlah tinggi,” katanya.
Dia menjelaskan, kerang tinggal di muara sungai. Kerang mendapat asupan banyak limbah bukan hanya dari limbah industri tetapi juga limbah rumah tangga.
“Pencemaran kini semakin banyak. Semuanya mengalirkan limbah dan semuanya tidak melakukan pengolahan limbah dengan benar,” katanya.
Oleh karena itu, kerang bisa menjadi indikator biologis lingkungan jika terjadi pencemaran di muara sungai. Indikator itu bisa dilihat dari kerang yang mampu menyimpan logam berat dalam jumlah tinggi.
Ita mengaku juga pernah mengecek kepiting, namun tidak melebihi akumulasi logam berat. Ikan hasil budi daya tambak dan bandeng masuk dalam kategori aman.
Menyinggung perbedaan kerang yang mengandung logam berat dan yang tak mengandung logam berat, Ita menjelaskan, hal itu tidak bisa dilihat dari bentuk kerang.
Namun, kecenderungan kerang hasil budi daya lebih rendah kandungan logam beratnya jika dibandingkan dengan kerang yang berasal dari muara sungai di daerah Pantura Jateng.
“Tapi kerang yang dari Semarang kan juga didatangkan dari berbagai kota juga seperti dari Demak,” katanya.