Ahli kriminologi dari Universitas Indonesia, Ade Erlangga Masdiana, memprediksi, seiring perubahan tatanan kehidupan dunia yang semakin bertumpu pada teknologi, kejahatan cyber menjadi semakin niscaya merebak di tengah masyarakat.
”Kejahatan cyber akan makin luas, tapi ancaman kejahatan cyber itu tidak disadari masyarakat dan pemerintah sendiri. Kita masih melihat kejahatan secara fisik, baru muncul rasa takut atau terancam. Orang, misalnya, masih mengasosiasikan orang bertampang sangar dengan kejahatan,” tutur Erlangga, Kamis (24/7).
Dalam bukunya Seputar Kejahatan Hacking (Menjebol Sistem Keamanan Jaringan Komputer): Teori dan Studi Kasus, pengamat kejahatan cyber Petrus Reinhard Golose menyebut, kejahatan cyber memiliki karakteristik no fear of crime atau tidak menimbulkan rasa terancam. Padahal, dampak kejahatan cyber itu bisa sangat fatal dan destruktif. Terlebih, korban kejahatan cyber tidak hanya individu, tetapi juga bisa melumpuhkan suatu negara.
Erlangga mengatakan, pemerintah dan seluruh aparat penegak hukum, dari polisi, jaksa, hingga hakim, harus lebih menyadari ancaman laten kejahatan cyber. Sebab, segala bentuk kejahatan terus bertransformasi menjadi kejahatan cyber. Mulai dari sekadar iseng membobol sistem, kejahatan seksual, pornografi anak, perdagangan narkoba, penipuan, perjudian, pencurian data, hingga terorisme.
”Menjelang pemilu, kejahatan cyber harus diantisipasi sebaik mungkin. Karena itu, soal sistem teknologi di Komisi Pemilihan Umum harus serius ditangani. Jangan lagi berorientasi proyek supaya tidak celaka. Pelaku cyber crime selalu merasa tertantang untuk coba-coba,” ujar Erlangga.
Pasukan ”zombie”
Golose, yang juga Kepala Unit Cyber Crime di Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, menyebutkan, salah satu perkembangan kejahatan cyber terkini adalah botnet atau robot network. Jenis itu adalah kejahatan cyber yang berupa suatu program berbahaya yang dapat menyusup dalam jaringan komputer. Program itu dapat dikendalikan dari jarak jauh sehingga dapat dioperasikan lintas negara.
Program itu dapat mengendalikan banyak komputer dan dipakai sesuai kemauan pembuatnya sehingga menciptakan yang disebut sebagai pasukan zombie. ”Praktik kejahatan itu di Amerika Serikat, misalnya, digunakan untuk menghancurkan pesaing bisnis. Itu juga bisa melumpuhkan suatu negara,” kata Golose.
Catatan kepolisian menunjukkan, tahun 2006-2020 polisi telah menggiring sedikitnya 20 perkara kejahatan cyber ke pengadilan. Namun, pelaku perkara tersebut kerap divonis hukuman yang relatif ringan sekalipun nilai kerugiannya sangat besar.
”Dengan adanya pengakuan tentang digital evidence (bukti digital) secara lebih tegas dalam Undang-Undang ITE, mudah-mudahan pengadilan bisa menjatuhkan vonis lebih proporsional,” kata Golose.
Bukti digital dalam persidangan kerap dituntut untuk ditampilkan secara fisik. Hal itu kadang menjadi tidak efisien. Di negara maju, kata Golose, majelis hakim bisa menerima bukti digital yang ditampilkan di persidangan dengan dipamerkan secara virtual. Sementara, dalam kasus persidangan perkara terorisme dengan terdakwa Amrozi, bukti digital yang ditemukan polisi harus dicetak hingga ketebalan dua meter.
Sejauh ini pelaku kejahatan cyber asal Indonesia telah memakan korban di empat benua, yaitu Amerika, Eropa, Asia, dan Australia. Mereka juga kerap mengadu ke Kedutaan Besar RI di negara tersebut.
Kejahatan di DuniaMaya diprediksi akan meningkat seiring dengan maraknya penggunaan internet di Indonesia untuk berbagai aktifitas.
UU ITE No. 11 Tahun 2020 merupakan payung hukum di Indonesia yang diharapkan dapat mengantisipasi berbagai persoalan kejahatan di dunia maya khususnya Transaksi Elektronik.
Salam
Comments are closed.