Skip to content

Kemarau Basah Tetap Akan Berlangsung Sampai 2023

Cuaca ekstrem kemarau basah pada 2022 berpeluang kembali terjadi tahun depan. Ini hasil analisis Laboratorium Teknologi Sistem Kebumian dan Mitigasi Bencana Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi bekerja sama dengan Jepang atas dasar indikasi fenomena La Nina yang kini cenderung semakin berkepanjangan.

Cuaca ekstrem di sejumlah wilayah pada 2022 ini saja telah menimbulkan gangguan produksi pertanian. Hasil analisis ini diharapkan dapat digunakan untuk mengantisipasi terjadinya hal serupa pada masa-masa mendatang, terutama di bidang pertanian.

”Model yang dikembangkan melalui kerja sama dengan Jepang saat ini menunjukkan, La Nina masih akan berkepanjangan hingga mampu memengaruhi musim kemarau pada 2023 nanti tetap banyak hujan atau menjadi kemarau basah,” kata Manajer Laboratorium Teknologi Sistem Kebumian dan Mitigasi Bencana Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Fadli Syamsuddin, Rabu (22/9) di Jakarta.

Menurut Fadli, Jepang secara intensif mengobservasi fenomena atmosfer dan dinamika kelautan, baik di Samudra Pasifik barat maupun Samudra Hindia di sebelah selatan Indonesia. Selain menggunakan data citra satelit, Jepang juga menganalisis data meteorologis dari buoy (pelampung) yang banyak dipasang di kedua samudra tersebut.

Pertemuan arus

Secara terpisah, Kepala Subbidang Cuaca Ekstrem Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Kukuh Ribudiyanto mengatakan, indikator La Nina dengan naiknya suhu muka laut terlihat paling tinggi saat ini di Laut Banda hingga 2 derajat celsius di atas pola normal. Hal ini terjadi pula di Samudra Hindia di selatan Jawa Tengah sampai Selat Sunda.

”Wilayah perairan lainnya di Indonesia tetap hangat di atas normal antara 1 derajat dan 2 derajat celsius,” kata Kukuh.

Fadli mengatakan, Laut Banda merupakan posisi penting untuk dipantau aspek kenaikan suhunya. Laut Banda merupakan lokasi pertemuan arus laut dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia. Arah arus beralih setiap enam bulan sekali.

”Setiap enam bulan sekali, Laut Banda seperti dikuras beralih menuju salah satu samudra tersebut, Pasifik atau Hindia,” kata Fadli.

Naiknya suhu muka laut hingga 2 derajat celsius di atas pola normal di Laut Banda dan Samudra Hindia selatan Jawa Tengah hingga Selat Sunda ini dipengaruhi arus dari Pasifik menuju Samudra Hindia saat ini.

Kukuh mengatakan, suhu muka laut yang hangat meningkatkan konveksi atau penguapan air menjadi awan hujan. Saat ini peluang hujan terjadi hampir merata, tetapi masih terjadi fenomena transisi berupa hujan lokal sesaat dan cukup deras.

”Seperti sekarang ini hujan deras di wilayah Jakarta Selatan bisa membuat banjir, padahal di wilayah utara dalam waktu bersamaan tidak terjadi hujan. Ini menunjukkan bahwa masa-masa transisi menuju musim hujan sedang terjadi,” kata Kukuh.

Akibat dari adanya fenomena La Nina, menurut Kukuh, intensitas hujan pada musim hujan tahun ini ditengarai meningkat dari pola normal.