Ketimpangan pengembangan riset berupa rendahnya riset aplikatif dan tingginya riset dasar mulai dibenahi oleh Dewan Riset Nasional. Melalui pengumpulan data dasar kegiatan-kegiatan riset, lembaga ini mencoba memaparkan potensi-potensi kolaborasi dari hasil-hasil riset.
”Penyebab lebih tingginya intensitas riset dasar masih dikaji. Setidaknya, ini menunjukkan bahwa prakarsa kegiatan masih dari para periset, bukan dari kalangan pelaku industri,” kata Sekretaris Dewan Riset Nasional (DRN) Tusy A Adibroto, Senin (3/11) di Jakarta.
Sekretaris Menteri Negara Riset dan Teknologi Benyamin Lakitan mengungkapkan, dari program insentif riset Rp 100 miliar setiap tahun juga bisa disimpulkan, riset-riset dasar masih dominan–85 persen. Saat ini sedang dikaji kebijakan insentif riset untuk mendorong pengembangan riset aplikatif di sektor industri.
Menurut Tusy, jumlah lembaga riset yang tergolong banyak itu menyediakan hasil riset yang banyak pula. Dari situ dapat dihasilkan potensi-potensi kolaborasi untuk pemanfaatannya.
Dia mencontohkan, potensi kolaborasi ada pada hasil 11 riset terkait sawit oleh sembilan lembaga. Riset itu ditujukan untuk menunjang produksi bahan bakar nabati (BBN) atau biofuel.
Tusy mengakui, sejauh ini memang muncul persoalan ketika hasil-hasil riset hanya menjadi tumpukan laporan. DRN dalam hal ini menetapkan program Open Method Research Coordination (OMRC) untuk mengatasi masalah tersebut.
”OMRC ini sistem informasi terbuka untuk menyampaikan hasil-hasil riset satu sama lain. Saat ini sudah ada 6.000 kegiatan riset dihimpun DRN,” kata Tusy.
OMRC tengah disusun menjadi sistem informasi berbasis internet. Menurut Tusy, melalui OMRC nantinya sesama periset atau calon pengguna hasil-hasil riset bisa berinteraksi.