Kodok adalah kelompok binatang yang sangat peka terhadap perubahan lingkungan, seperti polusi air, perusakan hutan, ataupun perubahan iklim. Karena kepekaan mereka, amfibi dapat dijadikan indikator perubahan lingkungan.
Perubahan lingkungan yang dampaknya sangat nyata terhadap kodok jelas terlihat pada turunnya populasi disertai turunnya keragaman jenis. Pada saat ini ada lebih dari 6.000 jenis amfibi di dunia.
Dari 6.000 jenis, 5.915 telah ditelaah statusnya oleh IUCN (International Union for Conservation and Natural Resources). Hasilnya, 1.893 dalam status terancam dan menuju kepunahan. Ancaman utama yang dihadapi kodok saat ini adalah hilangnya habitat (tempat hidup yang sesuai), polusi, pemanfaatan, dan penyakit.
Berawal dari kekhawatiran para ahli kodok di dunia yang tergabung dalam Amphibian Specialist Group—lembaga swadaya masyarakat di bawah naungan IUCN—disepakati tahun 2020 sebagai Tahun Kodok (Year of Frogs). Tujuannya agar kelompok binatang kodok menjadi pusat perhatian dunia, ditambah dengan isu pemanasan global yang mengakibatkan kehidupan mereka semakin rentan.
Diharapkan, dengan ditetapkan sebagai Tahun Kodok, tahun ini kelompok binatang kodok tidak lagi dipandang sebagai kelompok binatang tidak penting dan selalu berada pada posisi marjinal.
Kodok di Indonesia ada 351 jenis yang telah terdeskripsi dengan benar. Sekitar lebih dari 100 jenis dalam proses pendeskripsian menjadi jenis baru, terutama untuk jenis-jenis kodok yang berasal dari Papua.
Masalah utama di Indonesia adalah hilangnya habitat alami kodok, seperti penggundulan hutan hujan tropis, pencemaran air sungai, dan konversi lahan basah menjadi areal perkebunan. Jenis-jenis kodok asli hutan hidupnya sangat bergantung pada keberadaan hutan. Maka, rusaknya hutan akan berdampak negatif pada kelangsungan hidup jenis-jenis itu.
Kerusakan hutan hujan tropis paling besar di Indonesia terjadi di Pulau Jawa karena pulau ini berpenduduk paling banyak, sedangkan lahan yang digarap untuk menunjang kehidupan penduduknya semakin sempit. Karena itu, hutan-hutan yang tersisa di dalam kawasan lindung atau taman nasional mendapat tekanan sangat berat dari aktivitas manusia.
Kerusakan hutan tropis di Pulau Jawa berdampak sangat nyata pada status jenis-jenis kodok yang ada di dalamnya, terutama jenis-jenis endemik (tidak terdapat di pulau lain).
Saat ini diketahui terdapat dua jenis kodok endemik Jawa berstatus kritis (CR), yaitu kodok merah (Leptophryne cruentata)—hanya ada di hutan tropis dataran tinggi Jawa Barat; dan kodok pohon ungaran (Philautus jacobsoni)—hanya ada di hutan tropis Jawa Tengah.
Selain itu, ada empat jenis endemik lainnya yang berstatus rentan (VU), yaitu kongkang jeram (Huia masonii), kodok pohon mutiara (Nyctixalus margaritifer), kodok pohon kaki putik (Philautus pallidipes), dan kodok pohon jawa (Rhacophorus javanus).
Pemanfaatan
Ancaman lain yang sangat nyata berpengaruh pada status populasi kodok adalah dari segi pemanfaatan. Indonesia adalah negara pengekspor terbesar daging paha kodok. Mulai dari jenis penghuni sawah (Fejervarya spp) hingga penghuni perairan berarus deras (Limnonectes spp) yang umumnya berukuran besar (macrodon).
Selain itu, kodok juga sebagai komoditas ekspor bahan baku sarung tangan—dari jenis kodok berkulit kasar (Bufo spp) yang dagingnya mengandung racun. Aktivitas ekspor tersebut menghasilkan devisa negara.
Masalah yang dihadapi adalah pemanfaatan berlebihan sehingga tidak memikirkan apakah 10 tahun ke depan jenis-jenis kodok itu masih ada atau sudah habis di alam. Fenomena pemanfaatan kodok 10 tahun belakangan ini tidak berkelanjutan tanpa peduli pada pelestarian.
Ancaman dari polusi perairan juga jelas nyata berpengaruh pada penurunan populasi dan keanekaragaman jenis kodok. Hampir 80 persen jenis kodok di Indonesia tidak dapat toleransi terhadap polusi air berupa limbah rumah tangga dan logam berat. Mereka biasanya mati pada tingkat metamorfosa (perubahan bentuk) dari telur ke berudu, sedang jenis-jenis yang tahan umumnya akan mengalami cacat tangan atau kaki.
Organ jari tangan kodok yang dinamakan tonjolan ibu jari sangat berperan pada proses kawin kodok; jadi bila bentuknya tidak normal atau tidak tumbuh, maka sangat perpengaruh pada berlanjutnya keturunan jenis kodok. Akibatnya, berangsur-angsur jenis yang tahan terhadap polusi air juga punah.
Ancaman lain, yaitu penyakit disebabkan jamur dan virus. Jamur yang mematikan adalah dari kelompok Chytridiomycota; jamur yang menyerang berudu dan kodok dewasa adalah Batrachochytrium dendrobatidis. Kasus kematian massal kodok karena infeksi jamur banyak dijumpai di dataran tinggi Australia dan juga di Amerika Utara dan Selatan.
Selain itu, Ranavirus juga menyebabkan kematian massal pada kodok di tahap embrio dan berudu. Ranavirus adalah virus dari genus Ranavirus, famili Iridoviridae. Virus ini berukuran besar (diameter 120-300 nm). Kasus kematian massal berudu disebabkan Ranavirus terjadi di Amerika Utara, Eropa, dan Australia. Di Indonesia belum pernah ada penelitiannya.
Menghadapi kondisi seperti itu, masyarakat ilmuwan biologi lingkungan harus berbuat sesuatu untuk mempertahankan kodok jenis-jenis asli Indonesia untuk tidak punah, terutama jenis-jenis yang endemik.
Langkah awal yang diambil Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) adalah dengan menyadartahukan (memberikan awareness) masyarakat sebelum terlambat bahwa dunia kodok di dunia dan Indonesia, khususnya, sedang berada dalam bayang-bayang kepunahan yang pasti.
Usaha penyadartahuan akan berdampak positif bila dimulai dari sekarang pada siswa-siswa sekolah menengah dan mahasiswa. Mereka harus paham betul manfaat dari kekayaan jenis kodok yang terdapat di Indonesia.
Melalui kegiatan pelatihan pengenalan jenis, ekologi, dan perikehidupan kodok dan mengetahui betapa banyak spesimen dari berbagai jenis kodok di Indonesia yang tersimpan di Museum Zoologi Bogor, diharapkan dapat mengubah cara pikir mereka bahwa kodok adalah kelompok binatang yang harus disayangi dengan cara menjaga lingkungan tempat hidupnya.
HELLEN KURNIATI Bidang Zoologi, Puslit Biologi-LIPI
nice post
Comments are closed.