Satu-satunya alat pemantau atmosfer global yang dipasang di Kototabang, Sumatera Barat, menunjukkan, konsentrasi karbon dioksida terus meninggi.
Sejak dipasang pada 2004, tercatat 370 part per million, kini pada 2022 naik menjadi 383 ppm meski masih di bawah angka rata-rata global sekitar 390 ppm.
”Kecenderungan konsentrasi karbon dioksida naik terus, tidak pernah turun. Kondisi atmosfer yang semakin panas ini turut memengaruhi suhu muka laut semakin panas sehingga penguapan air laut menjadi sumber hujan (besar),” kata Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Sri Woro B Harijono, Rabu (6/10), dalam konferensi pers International Workshop on Global Atmosphere Watch (GAW) di Jakarta.
Menurut Sri Woro, Indonesia memiliki satu di antara 26 pemantau atmosfer global di seluruh dunia yang menjadi tanggung jawab Badan Meteorologi Dunia (WMO). Saat ini tengah diusulkan supaya ada penambahan di Palu, Sulawesi Tengah, dan Jayapura, Papua.
Kazuto Suda, pakar dari World Data Center for Greenhouse Gases, mengatakan, gradien peningkatan konsentrasi karbon dioksida di semua negara cenderung sama. Kazuto sulit menyebutkan, pemantauan di negara mana yang kini tertinggi pertumbuhan konsentrasi karbon dioksidanya.
Kepala Divisi Riset Lingkungan Atmosfer WMO Liisa Jalkanen menyetujui, observasi peningkatan konsentrasi karbon dioksida, terutama di Indonesia, akan ditingkatkan. Liisa dalam waktu dekat segera mengunjungi Lorelindu, di dekat Palu, untuk memastikan realisasi penambahan alat pemantau atmosfer global di sana. ”Workshop seperti ini membangun peningkatan kapasitas,” ujar Liisa.
Ambang 450 ppm
Ambang batas konsentrasi karbon dioksida yang disepakati secara internasional adalah 450 ppm pada 2050 nanti. Namun, akhir-akhir ini mengemuka perdebatan supaya batas konsentrasi itu diturunkan menjadi 350 ppm.
Menurut Sri Woro, kecenderungan naiknya konsentrasi karbon dioksida menimbulkan perubahan cuaca. Misalnya, saat ini terjadi cuaca yang ekstrem akibat suhu muka laut yang terus menghangat sepanjang tahun sehingga menjadikan musim kemarau tetap dilanda hujan.
”Seperti sekarang ini terjadi cuaca ekstrem akibat pengaruh La Nina sehingga hujan dengan intensitas tinggi menimbulkan banjir di mana-mana,” katanya.
La Nina diprediksi dalam kondisi indeks yang kuat terjadi hingga Februari 2023. Diperkirakan, intensitas hujan yang lebih tinggi masih berpeluang terjadi memasuki beberapa bulan ke depan