Luka bakar adalah salah satu bentuk luka trauma yang paling kompleks. Rusaknya lapisan pelindung terluar tubuh ini membuat pasien rentan terhadap infeksi, bahkan tak jarang mengakibatkan kematian pada pasien dengan kondisi luka bakar tingkat lanjut.
Namun, tak lama lagi luka bakar yang parah pun memiliki peluang besar untuk pulih seperti sedia kala karena sejumlah ilmuwan Prancis menemukan cara menciptakan kulit manusia dalam waktu singkat dari sel punca. Penemuan yang dipublikasikan dalam jurnal Lancet pada akhir November lalu itu dapat menyelamatkan nyawa korban luka bakar yang rentan terhadap infeksi dan harus menunggu waktu berminggu-minggu untuk memperoleh transplantasi kulit.
Para ilmuwan melakukan terobosan tersebut dengan mencangkokkan sepetak kulit manusia pada punggung seekor tikus dengan menggunakan sel punca, sel istimewa yang mempunyai kemampuan berkembang menjadi sel tubuh apa pun.
Transplantasi kulit sebenarnya bisa dibuat secara tradisional dengan menumbuhkan kultur sel keratinosit pasien itu sendiri. Terapi sel semacam ini memang telah mengubah kehidupan korban luka bakar serius secara radikal. Selama lebih dari dua dekade, dokter menggunakan teknik kultur sel untuk memperoleh lapisan kulit yang cukup luas untuk merekonstruksi epidermis yang rusak dari contoh lapisan kulit pasien.
Meskipun tipe pencangkokan kulit ini terbilang sukses, cara itu kurang efektif. Proses tersebut memerlukan waktu sedikitnya tiga pekan, terlalu lama bagi pasien luka bakar tingkat lanjut yang amat parah.
Dalam interval waktu itu, pasien tak terlindung dari risiko infeksi. Selama bertahun-tahun, para ilmuwan berlomba mengembangkan kulit pengganti yang dapat menolong melindungi pasien selama periode tersebut. Sayangnya, teknik ini belum mampu mengeliminasi risiko penolakan sistem imun dan penularan penyakit.
Metode baru yang menggunakan sel punca ini memungkinkan rumah sakit memesan kulit manusia siap pakai begitu memiliki pasien luka bakar. Metode ini dianggap sebagai solusi ideal karena memasok jumlah sel pembentuk epidermis (lapisan terluar kulit) yang tak terbatas dan tersedia dalam waktu singkat. Epidermis dari sel punca ini juga terkontrol dengan sempurna di laboratorium sebelum digunakan.
“Temuan kami ini menyediakan cara untuk menutup daerah kulit yang terbakar selama tiga pekan itu dengan epidermis kulit, yang diproduksi di dalam pabrik dan dikirimkan ke dokter atau rumah sakit begitu mereka menerima pasien dengan luka bakar yang amat parah,” kata Marc Peschanski, Direktur Riset Institut for Stem Cell Therapy and Exploration of Monogenic Diseases (I-Stem), Paris, Prancis. “Mereka cukup menelepon pabrik dan dengan segera mereka akan memperoleh 1 meter persegi epidermis sebagai kulit pengganti temporer untuk menutup luka bakar itu.”
Tujuan penelitian yang dilakukan I-Stem adalah menyediakan sumber daya sel yang tak terbatas sebagai pengobatan alternatif bagi korban luka bakar tingkat tiga dan pasien yang menderita penyakit kulit genetik.
Untuk menghasilkan epidermis utuh itu, tim ilmuwan I-Stem menggunakan sel punca embrionik manusia. Sel ini digunakan karena memiliki dua karakteristik fundamental, yaitu kapasitas untuk berproliferasi atau memperbanyak diri secara tak terbatas dan pluripotensi–kemampuan berdiferensiasi menjadi segala tipe sel tubuh.
Sasaran pertama mereka adalah membuat sel punca kulit atau keratinosit yang serupa dengan keratinosit alami dalam epidermis kulit dari sel punca embrionik. Keratinosit memungkinkan kulit diperbarui secara konstan.
Setelah memperoleh keratinosit dari sel punca, para ilmuwan menyusun strategi untuk mengisolasi sel punca keratinosit untuk mengetes kemampuannya menyusun kembali epidermis fungsional. Pada tahap awal, mereka mencobanya secara in-vitro, kemudian in-vivo atau jaringan hidup. “Sel inilah yang kami cari karena mereka adalah satu-satunya sel yang mampu menciptakan kembali seluruh lapisan epidermis manusia,” kata Christine Baldeschi, Ketua Tim Genodermatosis I-Stem.
Transformasi sel punca menjadi sel epidermis dapat berlangsung berkat kombinasi pendekatan biologi sel dan farmakologi. Para ilmuwan menciptakan sebuah “niche” di sekitar sel punca untuk memandu mereka menjadi sel epidermis dan agen farmakologi yang tepat kemudian ditambahkan ke dalam media kultur.
Baldeschi dan timnya, yang beranggotakan 28 orang, memutuskan memelihara perlakuan ini selama 40 hari, waktu yang normalnya dibutuhkan janin untuk membentuk epidermisnya. Dengan menerapkan konsep tersebut, sel punca embrionik itu akhirnya berdiferensiasi menjadi epitelium dan akhirnya membentuk keratinosit. Populasi sel yang menunjukkan seluruh penanda karakteristik keratinosit dewasa itu kemudian diisolasi dan diperbanyak. Para ilmuwan I-Stem yakin perlakuan selama 40 hari inilah yang menjadi kunci sukses mereka, sementara tim lain gagal.
Tingkat keberhasilan epidermis dari sel punca itu menutup luka bakar sudah terbukti ketika diuji coba pada tikus. “Kami mencangkokkan sel pada punggung seekor tikus yang terluka, dan hasil pantauan 12 pekan kemudian memperlihatkan bahwa epidermis kulit yang luka telah memperbaiki dirinya sendiri,” kata Xavier Nissan, peneliti yang terlibat dalam riset I-STEM, khususnya studi pengembangan terapi regenerasi menggunakan sel punca.
Pengujian terhadap makhluk hidup dilakukan I-Stem dengan menggandeng sebuah tim riset Spanyol yang menguasai teknik pencangkokan pada binatang dengan sistem imun yang dilemahkan untuk mengatasi kemungkinan timbulnya penolakan terhadap transplantasi. Dalam waktu 12 pekan, area pencangkokan pada punggung tikus memperlihatkan epidermis manusia dewasa yang normal dan fungsional. “Dalam riset selanjutnya, kami akan menerapkannya pada manusia,” kata Baldeschi.
Di Prancis, 200 hingga 300 orang mengalami risiko kematian akibat luka bakar tingkat lanjut setiap tahun, kata Peschanski. Dia berharap metode baru ini akan menjadi perangkat pengobatan umum di kemudian hari. “Ini benar-benar sebuah harapan baru bagi mereka, dan sesungguhnya, siapa pun di antara kita dapat menjadi korban luka bakar tingkat lanjut,” ujarnya.