Skip to content

Limbah Pabrik Tahu Bisa Dijadikan Pembangkit Listrik

Pabrik tahu ditengarai merusak lingkungan karena masih menggunakan kayu bakar dan membuang limbah cairnya ke lingkungan. Modifikasi tungku dan penerapan pengolah limbah dapat mengatasinya, bahkan memberikan nilai ekonomis berupa biogas pengganti bahan bakar minyak dan kayu bakar.

Sungai hingga parit yang mengalir di Banyumas kini telah menurun produktivitasnya. Tidak banyak ikan bisa ditangkap di perairan itu. Salah satu penyebabnya adalah buangan limbah cair pabrik tahu di daerah itu yang telah berlangsung lama.

Di kabupaten itu ada Desa Kalisari yang memiliki 312 industri tahu skala kecil dengan total kapasitas produksi 7,5 ton per hari. Selain itu, di Cikembulan—desa tetangganya—beroperasi 317 industri tahu yang menghasilkan 6 ton per hari.

Industri di dua desa itu merupakan sebagian kecil dari industri serupa di Pulau Jawa. Data dari Kementerian Riset dan Teknologi menyebutkan 80 persen dari sekitar 84.000 industri tahu di Indonesia ada di Jawa.

Selama ini, industri tahu sebanyak itu membuang limbah cairnya begitu saja ke parit dan lahan persawahan. Padahal, limbah hasil pemrosesan kedelai yang menjadi bahan baku tahu itu masih memiliki keasaman, chemical oxygen demand (COD), dan biological oxygen demand (BOD) yang tinggi. Tingkat COD adalah kebutuhan oksigen kimiawi di air untuk bereaksi dengan limbah. Adapun BOD adalah kebutuhan oksigen oleh mikro-organisme untuk memecah bahan buangan di air.

Hasil pengukuran di lapangan menunjukkan, tingkat keasaman pH 4-5 5, sedangkan COD dan BOD mencapai 10.000–15.000 mg per liter. Tingginya pencemaran ini menyebabkan ikan kekurangan oksigen hingga banyak yang mati.

Sementara itu, limbah tahu di lahan persawahan karena proses pembusukan akan terurai dan menghasilkan gas metan. Keadaan ini menyebabkan ketidakseimbangan kandungan unsur hara tanah. Akibatnya, padi tumbuh, tetapi puso atau tidak menghasilkan bulir padi.

Pencemaran limbah pabrik tahu saat ini, menurut Asisten Deputi Analisis Kebutuhan Iptek Kementerian Riset dan Teknologi Eddy Prihantoro, sudah mencapai tingkat signifikan.

Dari industri tahu di Indonesia yang berkapasitas lebih dari 2,56 juta ton per tahun, dihasilkan limbah cair sebanyak 20 juta meter kubik per tahun. Emisi gas rumah kaca yang dilepaskan limbah itu mencapai sekitar 1 juta ton CO ekivalen per tahun.

Pengolahan limbah

Untuk mengatasi pencemaran limbah pabrik tahu, Kementerian Riset dan Teknologi mengintroduksi Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) di Desa Kalisari dan Cikembulan yang terpilih menjadi desa percontohan karena merupakan sentra industri kecil tahu di Banyumas.

Uji coba unit percontohan IPAL dilakukan Kementerian Riset dan Teknologi bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Banyumas. Peluncuran unit IPAL di dua desa itu dilaksanakan oleh Bupati Banyumas Marjoko, Selasa (11/5).

Unit IPAL ini dikembangkan dengan mengacu pada model yang telah dibangun Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk pengolahan limbah kotoran hewan di tempat pemotongan hewan di Cakung Jakarta.

Modifikasi dilakukan pada tabung pengurai limbah (digester) yang digunakan pada TPH Cakung. Agar tabung kedap udara itu dapat mencerna limbah cair pabrik tahu lebih dahulu dimasukkan kotoran sapi.

Tujuannya untuk mengembangbiakkan mikroba yang berasal dari kotoran sampai jumlah tertentu. Sebagai media hunian, mikroba itu dimasukkan tumpukan potongan bambu berdiameter 5 cm-10 cm.

Dalam lingkungan anaerob dalam tangki itu mikroba tertentu mampu mendegradasi limbah yang bersifat asam. Dalam tangki juga terjadi proses metanogenesis dan hidrolisis, hingga dihasilkan gas metan, yang siap disalurkan kembali ke rumah tangga perajin untuk keperluan memasak.

Unit IPAL di Desa Kalisari berkapasitas 20 m per hari, setara dengan 1.200 kg kedelai per hari yang diperlukan 20 industri tahu. Adapun IPAL di Desa Cikembulan kapasitasnya 5 m per hari, setara 300 kg kedelai per hari untuk 5 perajin.

Sementara ini, IPAL di Kalisari dan Cikembulan mampu menampung limbah dari 13 perajin tahu. Hasilnya, biogas bisa dimanfaatkan untuk memasak oleh 21 rumah tangga. Air hasil pengolahan yang masih mengandung nutrien ditampung di empang untuk pakan ikan lele.

Dengan memanfaatkan biogas, rumah tangga perajin dapat berhemat sekitar Rp 10.000 hingga Rp 15.000 per hari—biasanya untuk membeli bahan bakar kompor. Untuk memanfaatkan biogas itu, perlu penyesuaian alat pengatur suplai gas.

Target lain yang akan dicapai Kementerian Riset dan Teknologi dalam proyek percontohan di Banyumas adalah meningkatkan efisiensi proses produksi pembuatan tahu dengan menurunkan penggunaan bahan baku energi.

Melalui modifikasi tungku yang dibuat dari logam, penggunaan bahan bakar kayu dapat ditekan hingga 50 persen, sedangkan tingkat pemanfaatan kalorinya dapat dinaikkan hingga setengah.

Dengan keberhasilan uji coba IPAL, baik Marjoko maupun Eddy mengharapkan, proyek percontohan ini dapat menjadi model atau bisa direplikasi di semua kluster industri tahu di Banyumas dan daerah lainnya.

Untuk pengembangan IPAL selanjutnya, Kementerian Riset dan Teknologi akan melibatkan peneliti terkait di lingkungan Lembaga Penelitian Non-kementerian untuk memberikan pelatihan bagi tenaga lokal dalam pembangunan dan pemeliharaan sarana tersebut. Sumber daya lokal juga akan dimanfaatkan untuk itu.