Skip to content

Memecahkan Misteri Penampakan Awan Aneh Di Atas Bandara

Awan itu berbentuk khas, berlubang di bagian tengah seperti terkena pelubang kertas. Awan hole punch itu biasanya terbentuk di dekat bandar udara (bandara) atau pangkalan udara militer.

Awan itu memancing perhatian para ilmuwan. Mereka menemukan bahwa daerah-daerah di dekat bandara komersial kadang-kadang mengalami peningkatan curah hujan ataupun salju—kecil tapi dapat diukur–ketika pesawat udara lepas landas dan mendarat dalam kondisi atmosfer tertentu.

Awan berbentuk aneh itu bisa berbentuk lubang atau kanal panjang, terbentuk ketika pesawat terbang melalui awan level tengah tertentu menekan udara di sekitarnya hingga tersebar dan mendingin dengan cepat. Hal itu menyebabkan butiran air halus membeku menjadi es dan berubah menjadi salju ketika mereka jatuh ke permukaan bumi, meninggalkan celah berbentuk aneh di awan.

Studi baru yang dipimpin oleh National Center for Atmospheric Research (NCAR) itu merupakan bagian riset yang difokuskan pada awan aneh itu. Tim riset, termasuk sejumlah peneliti dari NASA Langley Research Center dan University of Wyoming di Laramie, menggunakan citra satelit dan simulasi komputer ramalan cuaca untuk memeriksa seberapa sering tipe awan yang tak pernah dihiraukan sebelumnya itu terjadi dalam radius 100 kilometer dari 6 bandara komersial, yaitu London Heathrow, Frankfurt, Charles De Gaulle (Paris), Seattle-Tacoma, O’Hare (Chicago), Yellowknife (Kanada), dan Byrd Station di Antartika.

Mereka menemukan bahwa, tergantung pada bandar udara ataupun jenis pesawatnya, kondisi atmosfer yang tepat umumnya terjadi sekitar 6 persen. Awan aneh juga biasanya lebih sering terjadi di iklim yang lebih dingin.

Peneliti utama studi itu, Andrew Heymsfield dari NCAR, menyatakan fenomena itu tampaknya terjadi di banyak bandara lain, terutama di daerah yang terletak pada garis lintang tinggi dan tengah, pada bulan dengan temperatur sangat rendah. Variabel kuncinya adalah apakah di dekatnya juga terdapat lapisan awan yang mengandung butiran air pada temperatur jauh di bawah titik beku, sesuatu yang umum ditemukan.

Namun, para peneliti belum berani memastikan apakah hujan dan salju yang turun di sekitar lapangan terbang akibat efek itu cukup signifikan. Temuan ini masih membutuhkan sejumlah riset lain yang lebih detail.

“Tampaknya efek yang disebabkan oleh pesawat ini terjadi secara luas,” kata Heymsfield. “Secara tak disengaja pesawat menyebabkan hujan atau salju ketika mereka terbang melalui awan tertentu. Ini bukan berarti hujan dan salju yang tercipta cukup besar untuk mempengaruhi iklim global, tapi jumlahnya cukup di sekitar bandara besar di daerah pada garis lintang tengah.”

Para ilmuwan tidak menghitung jumlah total hujan atau salju yang akan dihasilkan oleh terbentuknya awan bolong itu. Meski demikian, analisis data radar mengindikasikan tingkat hujan salju nyaris mencapai 1 inci per jam setelah beberapa pesawat melintasi kawasan itu.

Selama beberapa dasawarsa para ilmuwan berusaha mengungkap asal muasal lubang dan kanal awan misterius itu. Tahun lalu Heymsfield juga mengepalai sebuah studi yang mengungkap bahwa celah yang terbentuk, yang terkadang tampak seperti lubang raksasa di langit, terjadi ketika pesawat terbang menembus awan di ketinggian menengah yang mengandung butiran air superdingin.

Ketika sebuah pesawat turboprop terbang menembus lapisan awan dengan temperatur sekitar minus 15 derajat Celsius atau lebih rendah, ujung baling-balingnya dapat menyebabkan udara tersebar dengan cepat. Ketika tersebar, udara akan mendingin dan menyebabkan butiran air superdingin membeku menjadi partikel es yang melenyapkan butiran air, jatuh ke bumi sebagai salju atau hujan.

Pesawat jet membutuhkan temperatur jauh lebih dingin, antara minus 20 hingga minus 25 derajat Celsius, untuk menciptakan efek hujan mendadak itu. Udara terdesak untuk menyebar ke atas sayap pesawat ketika pesawat bergerak maju, mendinginkan dan membekukan butiran air dalam awan.

Meski demikian, efek ini tak ada hubungannya dengan jejak uap air terkondensasi yang dihasilkan semburan emisi gas buang mesin jet, yang disebut sebagai contrail.

Dalam riset baru ini, tim studi menggunakan pengukuran awan, yang diambil oleh satelit CALIPSO milik NASA, untuk menghitung seberapa sering kondisi itu terjadi dalam radius 100 kilometer di beberapa bandar udara yang kawasan yang sering berawan. Mereka memilih radius 100 kilometer karena itu adalah jarak yang dibutuhkan sebuah pesawat komersial untuk terbang mencapai ketinggian 10 ribu kaki, lokasi lapisan awal superdingin berada.

Dari beberapa bandar udara besar yang diamati, mereka menemukan bahwa bandar udara Frankfurt, DeGaulle, dan O’Hare adalah lokasi yang paling sering mengalami kondisi yang tepat bagi pesawat berbaling-baling untuk menghasilkan hujan mendadak. Dalam setiap kasus, kondisi itu terjadi lebih dari 5 persen dalam setahun. Para peneliti menemukan bahwa kondisi yang tepat itu hanya terjadi sekitar 3 persen dari seluruh aktivitas pesawat jet di Heathrow, Frankfurt, dan Seattle-Tacoma.

Sebaliknya, bandar udara Yellowknife di Kanada lebih sering mengalami kondisi semacam itu, sekitar 10 persen untuk pesawat berbaling-baling dan 5 persen untuk pesawat jet. Itu kemungkinan terjadi karena kondisi awan yang lebih dingin pada daerah yang berada di garis lintang lebih tinggi. Namun, lapangan terbang Byrd di Antartika kerap mengalami kondisi sangat dingin yang tak memungkinkan pesawat jet menimbulkan awan berlubang secara tak disengaja.

Para ilmuwan juga menemukan bahwa berbagai jenis pesawat dapat memicu terjadinya hujan atau salju. Mereka membandingkan observasi awan bolong dan awan kanal yang dilakukan oleh satelit National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dengan catatan jalur penerbangan dari Federal Aviation Administration.

Hasilnya, pesawat jet komersial seperti Boeing 757 dan McDonnell Douglas MD-80, pesawat militer B-52, berbagai pesawat jet pribadi, dan regional, turboprop, hingga pesawat baling-baling dapat menimbulkan turunnya hujan atau salju. “Tampaknya pesawat jenis apa pun yang terbang menembus awan, yang mengandung air dalam fase cair pada temperatur di bawah titik beku, dapat menyebabkan efek ini,” kata Heymsfield.

Analisis data satelit yang dilakukan tim peneliti memperlihatkan bahwa lubang dan kanal awan itu dapat sering terjadi. Sebagai contoh, 92 awan aneh terlihat pada lapisan awan di atas Texas pada 29 Januari 2007. Beberapa awan kanal dan bolong bertahan hingga lebih dari 4 jam dengan panjang mencapai lebih dari 96 kilometer.

Dalam studinya, Heymsfield dan timnya juga menggunakan perangkat lunak canggih, yang disebut sebagai pemodelan ramalan cuaca dan riset, untuk mempelajari bagaimana lubang itu terbentuk dan berkembang. Mereka menemukan bahwa lubang itu dengan cepat menyebar sekitar 30 hingga 90 menit setelah sebuah pesawat melintas. Inilah waktu puncak terjadinya presipitasi yang diasosiasikan dengan efek awan hujan. Setelah 90 menit, es dan salju mulai meninggalkan awan.