Hari menjelang sore. Deretan gerai makanan di Kantin Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta bersiap tutup karena mulai kehabisan barang dagangan. Hanya satu gerai di pojok yang lumayan lengkap. Nasi ungu dan nasi merah masih menggunung menunggu pengunjung.
Kantin itu sangat unik karena semangat kemandirian pangan yang diusungnya. Hanya santapan berbahan pangan lokal untuk upaya mengurangi impor pangan dan meningkatkan ekonomi petani lokal yang digunakan. “Terutama untuk ketergantungan beras,” kata Sanyoto, penanggung jawab gerai, Jumat (4/6).
Menu andalannya nasi ungu dari beras (70 persen) dan ubi jalar ungu (30 persen). Rasanya sulit dibedakan dari nasi putih biasa. Aromanya lebih sedap karena daun salam dimasak bersama.
Menurut Sanyoto, nilai gizi nasi ungu lebih tinggi dari nasi putih karena kandungan vitamin A, B, dan C. Nasi ungu kaya serat dan antioksidan. Di Jawa Timur dan Jawa Barat nasi ungu populer saat beras sulit didapat. Ubi pilihan
Ubi sebagai campuran khusus dipilih dari Tawangmangu (Jawa Tengah) dan Malang (Jawa Timur) yang dibeli di Pasar Telo Karang Kajen, Yogyakarta. Tekstur dan warna pas ubi dari dua daerah itu pas untuk campuran nasi. “Dari Yogyakarta jarang ada ubi ungu karena rentan hama,” ujarnya.
Selain nasi ungu, gerai yang dibuka enam bulan lalu itu juga selalu menyediakan nasi beras merah dan berbagai makanan kecil berbahan pangan lokal seperti kue tiwul ayu dari tepung gaplek, lapis ketela dari tepung ketela, dan klepon dari beras ketan.
Sebagai teman nasi, tersedia berbagai sajian masakan tradisional antara lain pecel, kerang lombok ijo, cumi-cumi, tempe tahu bacem, dan bothok. Harganya terjangkau kantong mahasiswa. Nasi ungu, pecel, kerang lombok ijo, serta tempe dan tahu bacem hanya Rp 7.000.
Meskipun demikian, tak mudah menumbuhkan kecintaan pada pangan lokal. Gerai yang didirikan atas kerja sama Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan DI Yogyakarta dengan Pusat Kajian Makanan Tradisional UGM tetap saja sepi pengunjung. “Mahasiswa tak minat datang ke sini. Katanya harganya mahal. Anehnya, mereka bisa beli pizza di sebelah yang harganya lebih mahal,” kata pengelola gerai Pangan Lokal, Antonius Fitriantoro.
Karena tidak laku, sering kali Antonius harus membawa pulang sisa dagangan. “Kalau tidak disubsidi, gerai ini pasti sudah tutup dari dulu karena tingginya kerugian,” katanya.