Ia mengatakan masyarakat sekitar tidak perlu was-was akan dampak atau risiko yang dihasilkan PLTSa ini. Resiko dari PLTSa ini lebih kecil dibandingkan dengan Nuklir, jadi jangan was was atau protes.
Tentang pembangkit listrik tenaga surya atau angin yang sudah terbukti bersih dan tanpa resiko, Menristek menyatakan kekhawatirannya akan biaya pembangunan pembangkit listrik tenaga surya atau angin yang terlalu murah karena biasanya barang murah itu cepat. Kalau Jerman sudah memakai tenaga surya dan angin hingga 30% dari total pasokan listrik, itu urusan mereka. “Disini bukan Jerman,”ujarnya ketus.
“Seluruh risiko pencemaran sudah semestinya diminimalisir sehingga apa yang dihasilkan kelak akan berguna bagi masyarakat,” ujarnya.
“Jika ada risiko pencemaran dari pembakaran maka janganlah ada pembakaran tetapi semua sampah yang didapat harus di”reuse”, “reduce” dan “recycle”,” katanya.
Kusmayanto menyontohkan jika ada sampah botol maka gunakan kembali untuk botol atau barang-barang lainnya yang dapat didaur ulang hingga akhirnya dapat menjadi sebuah barang tertentu.
“Yang terpenting adalah pemilahan barang harus dilakukan sebelum dilakukan pemrosesan sampah,” tegasnya.
Ia juga menegaskan semua pihak harus ikut bertanggungjawab atas semua risiko yang akan terjadi, apapun itu walaupun pemerintah yang membangun dan mengelolanya. “Kita semua harus bertanggungjawab, saya, wartawan, akademisi, LSM, Pemda dan masyarakat yang mendukung, sudah saatnya masyarakat ikut bertanggungjawab atas tindakah pemerintah supaya pemerintah dapat melepas tangung jawab bila terjadi kegagalan seperti Lapindo,” ujarnya.
Kusmayanto menuturkan Pemerintah Pusat sejauh ini telah memberikan masukan kepada Pemkot Bandung terkait sistem apa saja yang layak digunakan bagi sebuah PLTSa.
“Kami memberikan usulan dan pihak Pemda yang akan menjadi operatornya,” ujarnya.
“Semua manfaat harus diambil semaksimal mungkin dan seluruh resiko harus diminimalisir seperti pepatah bahasa sunda “caina herang laukna beunang”(Pada air yang jernih, ikan bisa didapat),” ujarnya.
Terkait dengan banyaknya protes dari masyarakat, Kusmayanto menegaskan jika masyarakat menuntut lokasi jauh dari permukiman maka pemerintah akan mengalami kesulitan.
“Mana bisa kami menyetop pembangunan permukiman apalagi di Kota Bandung, mau kemana lagi,” ujarnya.
Jika ada permintaan untuk jauh dari Kota Bandung, lanjutnya, maka pembangunan PLTSa ini akan berada di wilayah Kota Bandung. “Kalau jauh berarti di wilayah lain, jauh atau dekat tetap sama saja,” katanya
Sidang Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL) PLTSa Gedebage rencananya akan dilaksanakan pada 31 Maret 2020 mendatang dengan menghadirkan seluruh pihak terkait termasuk masyarakat yang pro dan kontra.