Protein yang satu ini memang luar biasa. Dia bersinar kehijauan. Penemu Green Fluorescent Protein, yang ditemukan pada ubur-ubur Aequorea victoria pada tahun 1962, pada hari Rabu (8/10) ditetapkan oleh Royal Swedish Academy of Sciences sebagai penerima penghargaan Nobel Kimia 2020.
Tiga penemu yang menerima Hadiah Nobel Kimia itu adalah doktor kimia organik Osamu Shimomura, warga negara Jepang, Martin Chalfie ahli neurobiology, warga negara Amerika Serikat, lahir tahun 1947, besar di Chicago, AS, dan yang ketiga adalah Roger Y Tsien, warga AS, kelahiran New York, AS. Gelar doktor di bidang fisiologi dari Cambridge University, Inggris. Masing-masing mendapat sepertiga total hadiah 10 juta krone Swedia, sekitar Rp 14 miliar—bukan Rp 14 juta seperti pada Kompas, Rabu (8/10).
Protein yang semula hanya ditemukan warna hijau itu kini menjadi salah satu alat yang amat bermanfaat di bidang biosains.
Dengan memanfaatkan Green Fluorescent Protein (GFP), para peneliti meningkatkan cara mengamati proses-proses dalam tubuh yang semula tak terlihat. Misalnya, perkembangan sel-sel saraf di dalam otak atau bagaimana penyebaran sel kanker.
Puluhan ribu protein yang beragam terdapat di dalam tubuh makhluk hidup. Protein-protein ini mengendalikan proses-proses kimia penting secara detail.
Bila mesin protein ini malfungsi, biasanya disusul dengan jatuh sakit. Itu sebabnya, biosains merasa perlu memetakan berbagai protein yang ada dalam tubuh.
Pengembangan
Penghargaan Nobel Kimia 2020 ini jatuh pada peneliti yang menemukan pertama kali GFP dan peneliti-peneliti yang melakukan penelitian lanjutan atas temuan GFP itu. Pengembangannya telah berhasil sampai dimanfaatkannya GFP sebagai alat pencari dan pengikat pada biosains.
Dengan menggunakan teknologi deoxyribo nucleic acid (DNA), para ilmuwan tersebut mampu menghubungkan GFP pada protein-protein lainnya.
Dengan menggunakan protein GFP sebagai penanda yang bersinar (di tempat gelap) telah memungkinkan mereka mengamati gerakan, posisi, dan interaksi dari protein-protein yang terikat.
Bahkan kini para peneliti dapat mengikuti ”nasib” berbagai jenis sel dengan bantuan GFP. Misalnya, sel saraf yang rusak pada penyakit Alzheimer, atau bagaimana sel beta penghasil insulin terbentuk di pankreas saat pertumbuhan embrio (bakal bayi).
Dalam sebuah percobaan yang spektakuler, ilmuwan sukses mengikat beragam sel saraf otak tikus dengan bermacam warna GFP. Warna-warna selain hijau ditemukan Roger Y Tsien. Dia juga menemukan penjelasan mengapa GFP bisa bersinar di kegelapan (fluorescents).
GFP pada ikan nilem,kini dikembang di salah satu kampus terkemuka di pulau jawa
Comments are closed.