Indonesia masih tertinggal dalam pengembangan teknologi nano di tingkat Asia Tenggara, apalagi dunia. Ketiadaan lembaga nasional yang berfungsi sebagai koordinasi riset dan penentu jenis teknologi nano yang akan difokuskan adalah salah satu pemicunya.
Hal ini terungkap dalam seminar ”Pembaharuan Pendidikan Tinggi Teknik Mesin”, Sabtu (8/11) di kampus Institut Teknologi Bandung. Dalam seminar yang diadakan untuk menyambut 70 tahun Prof Filino Harahap (guru besar Teknik Mesin ITB) ini hadir sejumlah narasumber yang berkecimpung di dunia teknologi nano, antara lain Prof Gang Chen dari Massachusetts Institute of Technology; Ratno Nuryadi, peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, dan Prof Tresna P Soemardi dari Universitas Indonesia.
Ratno Nuryadi yang menghabiskan waktu bertahun-tahun meneliti dan melakukan survei teknologi nano di Jepang menceritakan, beberapa negara di Asia, seperti Thailand, Singapura, Malaysia, China, bahkan Vietnam, telah memiliki cetak biru kebijakan yang tegas dan jelas tentang pengembangan teknologi nano. Hampir seluruhnya memiliki pula lembaga bersifat nasional yang melakukan koordinasi riset itu. Di Vietnam, misalnya, ada Saigon Hi Tech Park, sedangkan di Thailand ada Nano Tech Center. Adapun Indonesia belum melakukan.
Tresna Soemardi mengatakan, untuk mengembangkan riset nano, pemerintah perlu mengadopsi manajemen sistem inovasi di universitas. ”Harus ada kesepakatan di bidang mana akan fokus. Perlu sharing riset antarlembaga. Tidak mungkin untuk infrastruktur riset itu dibangun sendiri- sendiri,” ucapnya. UI, misalnya, memilih fokus pada teknologi nano di bidang kesehatan. (