Skip to content

Pesta Dukun Zaman Purba Dilakukan Dengan Hidangan 17 Kura Kura dan 3 Sapi

Tradisi pesta atau sekadar kumpul-kumpul entah dalam rangka pernikahan, kelahiran, atau kematian sudah ada sejak 12.000 tahun lalu. Sisa-sisa pesta sebelum prosesi pemakaman seorang dukun perempuan masyarakat Natufian yang ditemukan di Goa Hilazon Tachtit, Galilee, Israel, menjadi buktinya. Hidangan utama pesta tidak tanggung-tanggung, 17 kura-kura dan tiga sapi liar.

Sisa-sisa pesta adat masyarakat Natufian yang pernah hidup 15.000 hingga 11.600 tahun lalu di wilayah yang kini kita kenal sebagai Israel, Jordania, Lebanon, dan Suriah itu ditemukan tim peneliti pimpinan arkeolog Natalie Munro dari University of Connecticut, Amerika Serikat, dan Leore Grosman dari Hebrew University di Jerusalem yang intensif mengeksplorasi goa itu sejak 1995.

Hasil eksplorasi yang dipublikasikan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences, Senin (30/8), itu memaparkan aneka ragam temuan tim Munro. Temuan pertama tim Munro, dua tahun lalu, adalah fosil jasad seorang dukun perempuan berusia 45 tahun yang cacat pada bagian pinggang dan pincang. Dari catatan sejarah yang ada, menurut Brian Hayden, arkeolog di Simon Fraser University, Burnaby, Kanada, dukun kerap ditemukan memiliki kecacatan fisik karena biasanya orang dengan cacat fisik atau mental dipercaya memiliki kekuatan supernatural.

Ketika ditemukan tim Munro, situs LiveScience menyebutkan, fosil dukun itu dikelilingi 17 tempurung atau ”rumah” kura-kura dan tulang tiga nenek moyang sapi liar bernama aurochs yang telah punah. Anehnya, semua tempurung dan tulang sapi itu berwarna hitam gosong.

Kesimpulan bahwa jasad itu seorang dukun baru disepakati setelah ditemukan aneka ragam jimat dan sesajen di dalam liang kubur, seperti sayap burung elang emas, pinggul macan tutul, dan potongan kaki manusia. Awalnya, tim Munro hanya menduga, jasad itu pastilah tokoh yang disegani masyarakat Natufian, mengingat temuan 17 tempurung kura-kura dan tiga sapi liar yang termasuk hidangan mewah pada masa itu. Untuk menangkap sapi liar saja tidak mudah, perlu kerja sama beberapa orang saking kuat dan kencangnya lari si sapi.

Temuan jimat dan sesajen itu lantas memastikan jasad itu dukun yang bisa menyembuhkan penyakit, sekaligus paranormal. Grosman menduga, posisi dukun sangat terhormat karena dianggap sebagai penghubung antara dunia dan akhirat. Saking terhormatnya, kepala dan kaki sang dukun direbahkan di atas tempurung sebagai bantalnya. Tempurung dan tulang sapi liar yang lebih kecil juga diletakkan di sekeliling tubuh sang dukun.

Sebelum tempurung dan tulang dimasukkan ke liang kubur dukun, ke-17 kura-kura dan tiga sapi liar itu menjadi hidangan utama bagi sedikitnya 35 ”tamu undangan”. Sebelum dibakar, tempurung kura-kura sengaja dipatahkan menjadi dua bagian agar lebih mudah diambil dagingnya. Sementara untuk sapi liar, sebelum dibakar terbukti ada proses penyembelihan setelah ditemukan bekas sayatan benda tajam pada bagian tulangnya.

Setelah pemakaman sang dukun, tradisi pesta dan prosesi pemakaman berlanjut. Siapa pun yang meninggal akan dikuburkan dalam goa yang terletak di lereng gunung yang curam dengan ketinggian 150 meter itu. Masyarakat harus melalui lereng gunung curam itu sambil gotong royong mengangkat jenazah yang akan dikuburkan, lengkap beserta sesajen dan berbagai jenis makanan.

Hidup menetap

Situs National Geographic menyebutkan, pesta sebelum prosesi pemakaman merupakan salah satu bagian dari kehidupan ritual Natufian, masyarakat pertama di dunia yang tidak lagi hidup berpindah, melainkan mulai menetap dan belajar bermasyarakat di Hilazon Tachtit pada masa-masa transisi antara periode Paleolitik dan Neolitik. Gaya hidup masyarakat Natufian tidak lagi sebagai pengumpul dan peramu, tetapi telah mulai mengenal budidaya pertanian dan perkebunan.

Arkeolog dari Harvard University, Ofer Bar-Yosef, menilai, masyarakat Natufian di Hilazon Tachtit adalah bapak penemu masyarakat Neolitik karena pertama kali mempraktikkan hidup bertani dan berkebun. ”Sekitar 10.000 tahun lalu mulai terjadi perubahan penting dalam kehidupan manusia, dari yang hanya mengeksploitasi hasil bumi menjadi aktif mengolah sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup,” kata Bar-Yosef.

Sejak mulai belajar hidup menetap, mau tidak mau masyarakat Natufian juga harus belajar hidup berdampingan sebagai masyarakat. Oleh karena itu, pesta-pesta itu sebenarnya bukan hanya sekadar kumpul-kumpul sambil makan-makan atau mangan ora mangan kumpul, melainkan ada makna simbolis yang lebih dalam. Pesta menjadi kesempatan untuk mempererat hubungan sosial sekaligus untuk mengurangi ketegangan dan potensi konflik yang sangat mungkin terjadi dalam hubungan antarmanusia.

Majalah NewScientist menyebutkan, masyarakat Natufian juga mau tidak mau harus tetap tinggal dan tak bisa dengan mudah berpindah ke tempat tinggal yang baru, seperti masyarakat pengumpul dan peramu. Pasalnya, lahan yang kosong dari hari ke hari semakin sulit diperoleh akibat pertumbuhan penduduk yang semakin cepat dan semakin menyebar.

”Ketika masih bergaya hidup berpindah-pindah, jika ada masalah sedikit saja dengan tetangga, mereka akan dengan mudah langsung pergi dan pindah ke tempat yang baru. Lalu, muncullah ide berpesta itu sebagai cara untuk menangani dan mencari solusi persoalan mereka,” kata Munro.

Tags: