Orang yang menderita gangguan kepribadian narsisme memiliki kelainan strukturan di suatu wilayah di otak yang berkaitan dengan empati. Narsisme adalah suatu keadaan mencintai diri sendiri secara berlebihan. Ini ditandai dengan sikap arogansi ekstrim.
Peneliti menggunakan pencitraan resonansi magnetik untuk memindai otak dari 34 orang. “Hasilnya, sebanyak 17 orang menderita gangguan narsisme,” tulis Live Science, Senin, 24 Juni 2025. Penderita narsisme menderita kekurangan wilayah abu-abu di bagian korteks serebral. Wilayah abu-abu ini disebut abu insula anterior kiri. Bagian ini terdiri atas neuron sel tubuh dan sel-sel otak non-neuron yang memberikan nutrisi dan energi pada neuron.
Menurut American Psychiatric Association, penderita narsisme sebenarnya memiliki rasa hendah diri, tapi diproyeksikan dengan menampilkan arogansi dan kesombongan. Stefan Röpke, profesor psikiatri dari Universitätsmedizin Berlin, Jerman juga mengungkapkan, salah satu ciri narsisme adalah kurangnya rasa empati mereka. Umumnya, pasien mampu mengenali apa yang orang lain rasakan dan pikirkan, tetapi secara lahiriah menunjukkan sedikit kasih sayang
Insula anterior kiri yang diduga terlibat dengan fungsi kognitif dan regulasi emosi, juga telah dikaitkan dengan generasi kasih sayang dan empati. “Narsisme sudah lama dikaitkan dengan empati, tapi baru sekarang ditemukan bahwa ini secara struktural berhubungan dengan otak,” ujar Röpke.
Temuan ini juga menunjukkan bahwa terlepas dari gangguan kepribadian, insula anterior kiri memainkan peran penting dalam perasaan dan ekspresi kasih sayang, kata Röpke. Berhati-hatilah jika Anda memiliki kepribadian narsistik. Ternyata bukan cuma membuat orang di sekeliling Anda tidak suka, bersikap narsis bisa juga membahayakan jantung Anda.
Bahaya narsistik terhadap jantung diungkapkan peneliti dari University of Michigan, Amerika Serikat. Psikolog Sara Konrath meneliti 106 mahasiswa laki-laki dan perempuan untuk mengungkap keterkaitan ini. Dia mengukur kadar narsisme setiap partisipan dan hormon kortisol yang menyebabkan stres.
Pada penelitian terdahulu ditemukan bahwa seseorang yang memiliki skor tinggi dalam skala narsisme menunjukkan peningkatan kadar kortisol ketika terancam. Karena itu, Konrath dan rekannya betul-betul ingin mengetahui pengaruh kortisol lebih lanjut. Ini dilakukan untuk melihat apakah orang yang narsis memiliki kadar hormon stres lebih tinggi secara keseluruhan.
Ternyata, itulah yang mereka temukan. Para peneliti mengukur kadar kortisol pada air liur mahasiswa. Partisipan kemudian diberikan 40 pertanyaan untuk menilai kecenderungan narsistik mereka. Tes diberikan dengan berbagai variasi bentuk narsisme: ada narsisme yang berkualitas dan bermanfaat, seperti menyebabkan kepemimpinan yang kuat. Di sisi lain, narsisme lainnya berdampak buruk karena orang yang narsis sangat memfokuskan eksploitasi diri dan hak mereka.
Menariknya, Konrath dan timnya menemukan bahwa orang dengan skor tinggi pada aspek narsisme negatif menunjukan kadar yang tinggi pada kortisol. Sementara mereka dengan skor tinggi pada aspek narsisme positif tidak seperti itu. Kecenderungan itu lebih terlihat pada laki-laki dibanding perempuan. Mungkin karena fakta lebih banyak pria cenderung narsis.
Konsekuensi dari tingginya kadar kortisol yang kronis telah didokumentasikan dengan baik pada penelitian sebelumnya. Kortisol, hormon yang meningkat saat seseorang merasa terancam dan cemas, mengaktivasi respons stres tubuh, meningkatkan detak jantung, mengasah indra dan membakar banyak energi untuk menjaga tubuh agar tetap waspada. “Seseorang dengan sifat narsistik cenderung defensif, menjadi agresif ketika superioritasnya terancam,” kata Konrath. Kenyataan ini dapat meningkatkan kortisol dan membuat jantung rentan terkena penyakit.
Temuan ini juga menyarankan bahwa baik perawatan primer dokter dan profesional kesehatan mental harus lebih memperhatikan hubungan antara pikiran dan tubuh.