Pakar hukum kesehatan Universitas Katolik Soegijapranata di Semarang, Prof. Agnes Widanti, menilai perlu ada regulasi yang khusus mengatur tentang praktek sewa rahim.
“Selama ini sewa rahim belum diatur dalam perundang-undangan di Indonesia,” katanya usai seminar “Surrogate Mother (Ibu Pengganti) Dipandang dari Nalar, Moral, dan Legal” di Semarang, Sabtu.
Sewa rahim, kata dia, merupakan upaya untuk mendapatkan keturunan dengan menanamkan benih ke dalam rahim orang lain (ibu pengganti), setelah anak itu lahir diserahkan kepada si penyewa rahim.
Menurut dia, upaya semacam itu biasanya dilakukan pasangan suami istri yang sulit memiliki keturunan, dan hal tersebut disebabkan kondisi rahim si istri yang tidak memungkinkan untuk hamil.
“Regulasi di Indonesia hanya mengatur terkait bayi tabung yang sebenarnya prosesnya sama dengan sewa rahim, tetapi kalau bayi tabung benih itu ditanam pada si istri, bukan orang lain,” katanya.
Ia mengatakan praktik sewa rahim sudah banyak terjadi di negara-negara lain, seperti Amerika Serikat yang akhirnya melegalkan praktik tersebut dan mengaturnya dalam undang-undang.
“Di Indonesia sendiri sebenarnya sudah ada praktik semacam itu, namun tidak banyak yang berani bersikap terbuka karena belum diatur secara jelas dalam perundang-undangan,” kata Agnes.
Koordinator Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) Jawa Tengah itu juga mengungkapkan selama ini praktik sewa rahim di Indonesia tidak pernah menimbulkan permasalahan sehingga tidak pernah mencuat.
Padahal, kata Agnes yang juga Ketua Magister Hukum Kesehatan Unika Soegijapranata itu, permasalahan akan muncul ketika si ibu yang menyewakan rahim tidak mau menyerahkan bayi yang dikandungnya.
“Permasalahan semacam itu pernah terjadi di AS sekitar tahun 1968 ketika ada seorang ibu yang menyewakan rahim enggan mengembalikan bayi yang dikandungnya, sehingga terjadi polemik,” katanya.
Keengganan menyerahkan bayi yang dikandungnya meski bukan anak kandungnya sendiri itu, lanjut Agnes, bisa muncul karena naluri alamiah seorang ibu, karena itu perlu regulasi yang mengatur.
Seminar yang diselenggarakan Magister Hukum Kesehatan Unika Soegijapranata itu juga menghadirkan praktisi kesehatan, dr. Sofwan Dahlan, dan saintis yang juga pemerhati masalah sosial, Prof. Liek Wilardjo.
Menurut Sofwan, praktik sewa rahim secara medis sangat mungkin dilakukan, mengingat prosesnya secara garis besar sama dengan bayi tabung, hanya rahim inang yang digunakan berbeda.
“Proses bayi tabung secara umum adalah merangsang indung telur matang untuk dipertemukan sel sperma yang terseleksi, kemudian dipantau hingga terjadi pembuahan, dan siap diimplantasikan dalam rahim,” katanya.
Sementara itu, Liek justru menyoroti persoalan moral yang melingkupi praktik sewa rahim tersebut, apalagi terkait persoalan yang akan muncul lebih jauh misalnya identitas anak tersebut kelak.
“Persoalan moral lebih bersifat relatif, karena pertimbangan yang diambil setiap orang pasti berbeda, termasuk dalam kasus sewa rahim. Namun, tetap ada dampak yang harus dipikirkan,” kata Liek.