Dewan Nasional Perubahan Iklim selama 18 bulan mengembangkan studi pengurangan emisi gas rumah kaca. Hasil studi yang melibatkan 150 peserta dari sejumlah instansi pemerintah dan swasta serta lembaga swadaya masyarakat itu tidak bertujuan mengubah regulasi gambut yang ada meski gambut dituding sebagai salah satu penyumbang emisi terbesar.
”Gambut idealnya tidak diapa- apakan, tidak boleh diolah. Namun, kita harus realistis. Masyarakat harus tetap diberi kesempatan yang mengarah pada penanganan gambut yang semestinya,” kata Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Rachmat Witoelar, Senin (6/9), dalam konferensi pers di Jakarta.
Dari hasil studi itu, emisi Indonesia pada 2005-2030 tumbuh dari 2,1 gigaton (Gt) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) menjadi 3,3 Gt COe—sering disederhanakan menjadi CO. Ada delapan bidang penyumbang emisi terbesar, secara berurutan meliputi gambut, listrik, perubahan tata guna lahan dan kehutanan (LULUCF), transportasi, pertanian, minyak dan gas, semen, serta bangunan.
Pada 2030, diperkirakan emisi dari gambut mencapai 970 juta ton CO. Listrik mencapai 810 juta ton CO. Bidang LULUCF mencapai 670 juta ton CO dan transportasi 440 juta ton karbon dioksida.
Peningkatan terbesar
Peningkatan emisi listrik adalah yang terbesar. Pada 2005 hanya 110 juta ton CO, berkembang pada 2030 menjadi 810 juta ton CO. Berbeda dengan gambut yang mencapai 770 juta ton CO pada 2005 yang tumbuh menjadi 970 juta ton CO—pertumbuhan emisi dalam 25 tahun kalah cepat dibandingkan listrik, tetapi jumlah emisi dari gambut tetap yang terbesar. ”Pemanfaatan gambut tetap tidak bisa dilarang secara tegas,” kata Witoelar.
Kepala Sekretariat DNPI Agus Purnomo memaparkan, emisi gas rumah kaca terbesar juga disumbang oleh perubahan tata guna lahan dan kehutanan. Perkebunan sawit di antaranya menyebabkan terjadinya perubahan peruntukan tersebut.
”Saat ini terdapat sekitar 9 juta hektar yang mendapat izin untuk industri perkebunan sawit. Namun, hanya 5 juta hektar yang ditanami,” kata Agus.
Sebanyak 4 juta hektar lahan dengan peruntukan perkebunan sawit, menurut Agus, sekarang belum ditanami. Ini mengindikasikan bahwa pemerintah tidak perlu lagi mengeluarkan izin bagi pembukaan lahan untuk sawit.
”Produktivitas sawit juga masih bisa ditingkatkan tiga kali lipat. Ini jika dibandingkan dengan produktivitas Malaysia yang tiga kali lipat lebih tinggi daripada Indonesia,” kata Agus.
Tentang moratorium, Agus mengatakan, saat ini belum diumumkan wilayah hutan mana yang dikenai moratorium. Moratorium, menurut dia, ditentukan jenis hutan alam primer dan gambut.