Ia tidak tenar seperti Charles Darwin atau Alfred Russel Wallace. Ia tidak mengungkapkan teori-teori besar. Ia hanya mencintai alam. Kecintaannya itu diwujudkannya dengan mengumpulkan berbagai serangga dan tumbuhan di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara, kemudian diawetkannya.
Kotak-kotak kaca yang berisi sejumlah jenis serangga, terutama kupu-kupu, tergantung di dua pilar Siantar Hotel di Jalan WR Supratman, Kota Pematang Siantar. Jumlah kotak itu mencapai enam buah.
Sebagian tamu hotel pasti tak menyadari kalau kotak-kotak itu menyimpan cerita mengenai Heinrich Surbeck, seseorang yang sungguh-sungguh mencintai alam sekitar Danau Toba, hingga menumpulkan sejumlah serangga dan tumbuhan sehingga koleksinya itu tersimpan di beberapa herbarium di dunia.
”Dulu banyak Pak, tetapi sekarang tinggal itu saja,” kata salah satu petugas hotel ketika Kompas melihat-lihat kotak-kotak itu. Ia bercerita kalau beberapa koleksi itu telah rusak beberapa tahun yang lalu.
Koleksi-koleksi di Siantar Hotel itu merupakan sebagian kecil peninggalan Surbeck. Koleksi dan duplikatnya dalam jumlah besar tersebar di berbagai tempat, seperti Leiden (Belanda), Zurich (Swiss), dan Bogor (Indonesia). Sangat mungkin koleksi Surbeck masih ada di tempat lain mengingat ketika pendudukan Jepang dan juga saat revolusi sosial, koleksi-koleksinya tak terurus dan bisa berpindah tangan.
Surbeck dilahirkan di Hallau, Swiss, tahun 1876. Pertama kali ia menginjakkan kaki di Sumatera Utara pada tahun 1902. Tidak diketahui persis tempat kedatangan awal Surbeck, tetapi kemudian diketahui pada tahun 1906 ia mendirikan pabrik gambir di Gunung Melayu, Asahan.
Setelah mendirikan pabrik gambir, ia pergi ke Pematang Siantar dan mendirikan pembangkit listrik, hotel, dan pabrik es serta minuman di bawah nama NV Ijs Fabriek Siantar. Ia juga sempat membuka usaha industri dan pembangkit listrik di Padang Sidimpuan.
Usahanya sangat maju dan hingga kini usahanya yang kemudian dibeli oleh keluarga Julianus Hutabarat pada tahun 1969 masih berjalan. Hotel masih berdiri kokoh dengan nama Siantar Hotel dan minuman produksi pabrik yang kemudian diberi nama PT Pabrik Es Siantar masih banyak beredar di Pematang Siantar dan Medan dengan merek Badak.
”Saya mendengar dari pendahulu yang pernah bekerja di pabrik ini, nama Badak kemungkinan diambil karena Surbeck ingin mengabadikan nama hewan itu karena dia mencintai alam,” kata Hendry Hutabarat, salah satu anak Julianus Hutabarat.
Jika Surbeck mengoleksi flora dan fauna, hal itu bukan karena pendidikan Surbeck terkait dengan bidang itu. Ia mendapat gelar sarjana Teknik Kimia dari Technical College Zurich. Ia datang ke Hindia Belanda pada saat ia menderita sakit paru-paru. Anehnya, ia kemudian sembuh. Surbeck meninggal dunia pada tahun 1945 menyusul revolusi sosial. Ia diduga dibunuh di Pematang Siantar oleh laskar rakyat.
Dari catatan National Herbarium Nederland, Surbeck mulai mengumpulkan berbagai flora dan fauna sejak 1914 di wilayah residen Pantai Timur Sumatera, seperti Sungai Taroean, Asahan, Ayer Sakor, Bangkalak, dan Oelak Boetar. Ia kemudian mengumpulkan flora dan fauna di sekitar Danau Toba seperti Kabanjahe, Puncak Gunung Ria-Ria, Tele, Sidikalang, dan lain-lain. Aktivitas pengumpulan flora dan fauna dilakukan hingga tahun 1941.
Koleksi awal yang dikumpulkan pada tahun 1914-1917 yang berupa tanaman pakis sempat ditawarkan kepada Prof Schroter di Technical College Zurich yang merupakan almamaternya, tempat ia studi dari tahun 1895 hingga 1900. Akan tetapi, tawaran ini ditolak Schroter dengan alasan tanaman-tanaman itu sudah dimilikinya.
Surbeck akhirnya menyimpan koleksi itu di salah satu tempat di Swiss hingga kemudian ditawarkan kepada salah seorang pengajar. Orang inilah yang menyimpan satu set pakis. Sejumlah koleksi lainnya lalu akhirnya diterima di Herbarium Technical Collegge Zurich. Seseorang bernama Prof Walo Koch kemudian membuat duplikatnya dan disimpan di Leiden serta Bogor. Sayang sekali koleksi bertahun 1941 diperkirakan hilang.
”Menjelang Jepang masuk, Surbeck melukis hewan dan tanaman yang dikumpulkan. Ia berada di kamar saat melukis. Biasanya saya kemudian dipanggil dan diminta mengomentari gambar-gambar hewan dan tanaman yang dibikin,” kata Elman Tanjung (89) yang pernah bekerja di NV Ijs Fabriek Siantar sejak tahun 1938 hingga tahun 1987.
Gambar detail flora dan fauna yang dilukis Surbeck mencapai sekitar 400 buah. Akan tetapi, keberadaan lukisan ini tidak terlacak. Lukisan ini digambar saat Jepang mulai masuk ke wilayah Hindia Belanda. Kemungkinan Surbeck khawatir koleksinya akan hilang atau rusak akibat pendudukan itu sehingga dia mendokumentasikan koleksi-koleksinya.
”Sangat mirip dengan hewan aslinya,” komentar Elman Tanjung mengenai sejumlah gambar yang ditunjukkan Surbeck kepada dirinya.
Sifat Surbeck yang mencintai alam menurun ke anak Lydia Rosa Otto Surbeck yang lahir di Gunung Melayu tahun 1909. Ketika pergolakan sosial di Pematang Siantar terjadi hingga menyebabkan terbunuhnya ayahnya pada tahun 1945, Lydia berhasil diselamatkan dan mengungsi ke sebuah negara di Eropa.
Pada tahun 1947 ia kembali ke Pematang Siantar untuk mengelola NV Ijs Fabriek Siantar hingga tahun 1959. Pada masa itu Lydia juga mengumpulkan sejumlah flora dan fauna. Dari dokumentasi National Herbarium Nederland yang mendapat duplikat koleksi Lydia diketahui ia mengumpulkan flora dan fauna di residen Pantai Timur Sumatera dan Tapanuli.
Tahun 1953, ia mengumpulkan koleksi yang berasal dari Pematang Siantar, tahun 1954 ia mendapat sejumlah flora dan fauna dari Parapat dan Simalungun, dan tahun 1955 sejumlah koleksi didapat dari Porsea (Balige), Seribu Dolok, Lima Puluh, dan Simalungun. Berbagai koleksi ini masih tersimpan di Zurich dan duplikatnya tersimpan di Leiden.
Beberapa tahun yang lalu, koleksi-koleksi Heinrich Surbeck dan Lydia Rosa mungkin dianggap biasa-biasa saja. Akan tetapi, ketika alam di Sumatera Utara, khususnya di sekitar Danau Toba, sudah rusak, koleksi tersebut menjadi sangat penting. Suatu saat kita mungkin hanya bisa terkejut ketika mengetahui berbagai flora dan fauna itu sudah tidak ada lagi di sekitar Danau Toba.
Kembali, kita hanya bisa sedih. Orang lain begitu mencintai alam Nusantara, tetapi kita sendiri malah mengabaikannya